Bagikan:

JAKARTA - Pertempuran berkobar lagi di Sudan pada Selasa malam meskipun ada deklarasi gencatan senjata oleh faksi-faksi yang bertikai, ketika lebih banyak orang melarikan diri dari ibu kota Khartoum sementara para tahanan diizinkan meninggalkan penjara.

Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan Rapid Support Forces (RSF) menyetujui gencatan senjata 72 jam yang dimulai pada Hari Selasa, setelah negosiasi yang dimediasi oleh Amerika Serikat dan Arab Saudi.

Namun, tembakan dan ledakan terdengar setelah malam tiba di Omdurman, salah satu kota kembar Khartoum di Sungai Nil di mana tentara menggunakan drone untuk menargetkan posisi RSF, kata seorang wartawan Reuters, seperti dilansir 26 April.

Tentara juga menggunakan drone untuk mencoba mengusir pejuang dari kilang bahan bakar di Bahri, kota ketiga di pertemuan Sungai Nil Biru dan Nil Putih.

Sejak peperangan antara tentara dan RSF meletus di Sudan pada tanggal 15 April, menggagalkan transisi ke demokrasi sipil, paramiliter telah menempatkan diri mereka di distrik permukiman dan tentara berusaha untuk menargetkan mereka dari udara.

Pertempuran telah mengubah daerah permukiman menjadi medan perang. Serangan udara dan artileri telah menewaskan sedikitnya 459 orang, melukai lebih dari 4.000 orang, menghancurkan rumah sakit dan membatasi distribusi makanan di negara yang sudah bergantung pada bantuan untuk sepertiga dari 46 juta penduduknya.

Sebuah proyektil menghantam pusat medis Al-Roumi di Omdurman pada Hari Selasa, meledak di dalam fasilitas tersebut dan melukai 13 orang, kata seorang pejabat rumah sakit.

Sebagai tanda lebih lanjut dari memburuknya keamanan, mantan Menteri Ahmed Haroun, yang dicari oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Darfur, mengatakan dia dan pejabat lainnya diizinkan meninggalkan penjara Kober.

Menyusul laporan pembobolan penjara dalam beberapa hari terakhir, Haroun mengatakan kondisi di Kober semakin memburuk. Seorang pengunjuk rasa yang dipenjara di sana mengatakan dalam pernyataan yang direkam pada Hari Minggu,para tahanan telah dibebaskan setelah seminggu tanpa air atau makanan.

Haroun dan pejabat lain yang dibebaskan bertugas di bawah mantan Presiden Omar al-Bashir yang berkuasa dalam kudeta militer 1989 dan digulingkan dalam pemberontakan rakyat pada 2019.

ICC di Den Haag menuduh Haroun mengorganisir milisi untuk menyerang warga sipil di sebuah genosida di Darfur pada tahun 2003 dan 2004. Keberadaan Bashir tidak segera jelas.

Sementara itu, Eksodus kedutaan dan pekerja bantuan dari negara terbesar ketiga Afrika itu telah menimbulkan kekhawatiran warga sipil yang tersisa akan berada dalam bahaya yang lebih besar jika kesepakatan gencatan senjata tiga hari yang goyah, yang berakhir pada Kamis, tidak berlaku.

Sejak pertempuran meletus, puluhan ribu orang telah pergi ke negara tetangga Chad, Mesir, Ethiopia dan Sudan Selatan.

Negara-negara asing telah menerbangkan staf kedutaan setelah beberapa serangan terhadap diplomat, termasuk pembunuhan atase Mesir yang ditembak dalam perjalanan ke tempat kerja.