JAKARTA - Bentrokan hebat dan tembakan artileri meletus di ibu kota Sudan, Khartoum, Minggu, termasuk laporan penduduk adanya serangan udara segera setelah berakhirnya gencatan senjata 24 jam, yang membuat jeda singkat selama delapan minggu pertempuran antara faksi-faksi militer yang bertikai.
Saksi mata mengatakan, pertempuran terberat dalam beberapa minggu belakangan pecah antara tentara Sudan dengan paramiliter Rapid Support Forces (RSF), termasuk pertempuran darat di lingkungan padat penduduk Haji Youssef di Bahri, salah satu dari tiga kota yang bersebelahan, bersama dengan Khartoum dan Omdurman, yang membentuk ibu kota di sekitar pertemuan Sungai Nil.
Arab Saudi dan AS, yang menengahi gencatan senjata pada pembicaraan di Jeddah mengatakan, gencatan senjata telah memungkinkan pengiriman beberapa bantuan kemanusiaan penting dan langkah-langkah membangun kepercayaan.
"Namun, ada pelanggaran, dan setelah berakhirnya gencatan senjata jangka pendek, para fasilitator sangat kecewa dengan dimulainya kembali kekerasan yang intens, yang kami kutuk dengan keras," kata mereka dalam sebuah pernyataan, melansir Reuters 12 Juni.
Tepat setelah gencatan senjata berakhir pada pukul 6 pagi (04:00 GMT), para saksi mata mengatakan bentrokan dan tembakan artileri berlanjut di utara Omdurman. Mereka juga melaporkan pertempuran di Khartoum selatan dan tengah. Juga di Shambat, sepanjang Sungai Nil di Bahri hingga jembatan Halfiya yang strategis, yang menyeberang ke Omdurman.
"Gencatan senjata membuat kami sedikit rileks, tetapi perang dan ketakutan kembali lagi hari ini," kata Musab Saleh, seorang warga Khartoum selatan berusia 38 tahun.
Mohamed Usher, seorang aktivis lokal yang mengunjungi dua lokasi penembakan artileri di Khartoum selatan, mengatakan sedikitnya 11 warga sipil tewas di sana. Di Khartoum Timur, enam warga sipil tewas akibat pertempuran itu, kata seorang aktivis di daerah itu.
BACA JUGA:
Diketahui, perang antara tentara Sudan dan paramiliter RSF pecah pada 15 April atas ketegangan yang terkait dengan rencana yang didukung internasional untuk transisi menuju pemerintahan sipil.
Konflik tersebut telah menewaskan ratusan warga sipil dan menelantarkan lebih dari 1,9 juta orang, memicu krisis kemanusiaan besar yang mengancam akan menyebar ke seluruh wilayah yang bergejolak.