JAKARTA - Media berbahasa Arab melaporkan tentara Sudan telah menyetujui gencatan senjata 24 jam, mulai Selasa malam, beberapa jam setelah pasukan paramiliter mengatakan mereka juga akan mematuhi gencatan senjata.
Saluran satelit Al Arabiya dan Al Jazeera mengutip perwira tinggi militer, Shams El Din Kabbashi, yang mengatakan militer akan mematuhi gencatan senjata.
Diketahui, pertempuran sejak Sabtu telah menjerumuskan ibu kota negara Khartoum dan daerah lain di Sudan ke dalam kekacauan.
Jutaan orang Sudan di ibu kota dan di kota-kota besar lainnya bersembunyi di rumah mereka, terperangkap dalam baku tembak saat kedua kekuatan bertempur untuk mendapatkan kendali, dengan kedua jenderal sejauh ini bersikeras akan saling menghancurkan.
Korban tewas dalam tiga hari pertempuran antara tentara Sudan dan paramiliter yang kuat telah meningkat menjadi setidaknya 185 jiwa, kata utusan PBB di Khartoum, dengan tidak ada pihak yang mengindahkan permintaan masyarakat internasional untuk gencatan senjata.
"Kedua belah pihak yang berperang tidak memberikan kesan mereka menginginkan mediasi untuk gencatan senjata di antara mereka segera," ujar Volker Perthes, utusan PBB, mengatakan kepada wartawan dalam tautan video dari Khartoum, melansir The National News 18 April.
Perthes mengatakan, sedikitnya 1.800 lainnya terluka dalam pertempuran itu. Sementara, baik tentara maupun RSF belum merilis jumlah korban, tetapi masing-masing diyakini telah kehilangan puluhan tentara.
Korban tewas yang diberikannya sekitar 40 lebih tinggi dari angka terbaru yang dirilis pada Selasa oleh kelompok medis independen yang terkait dengan gerakan pro-demokrasi Sudan.
Komite Sentral Dokter Sudan mengatakan 144 warga sipil tewas dan 1.409, termasuk personel dari pihak yang bertikai, terluka.
Komentar utusan PBB tersebut muncul di penghujung hari yang, menurut warga, telah menyaksikan pertempuran terburuk sejak pertempuran dimulai pada Hari Sabtu antara tentara dengan Rapid Support Forces yang lebih dikenal sebagai RSF.
Selain Khartoum, pertempuran juga terjadi di kota-kota di seluruh negara Afro-Arab yang berpenduduk sekitar 45 juta jiwa.
Pada Hari Selasa, sebagian Khartoum tanpa air atau listrik. Jalanan sepi dan sebagian besar toko tutup. SPBU ditutup dan ribuan warga meninggalkan kota untuk menghabiskan liburan Idul Fitri di kota dan desa asal mereka. Bandara Internasional Khartoum, yang dikuasai oleh RSF tetapi dikepung oleh pasukan tentara, tetap ditutup pada Selasa untuk hari keempat berturut-turut.
Seorang perwira intelijen militer senior mengatakan kepada The National News, pasukan RSF di bandara menyandera warga sipil, menggunakan mereka sebagai perisai manusia untuk menghindari serangan tentara.
Jenderal Mohamed Dagalo, komandan RSF, bermarkas di daerah dekat bandara, tambahnya. Klaimnya tidak dapat segera diverifikasi secara independen. Pada Hari Selasa, RSF mengatakan berjuang untuk memulihkan hak-hak rakyat Sudan.
BACA JUGA:
"Sebuah revolusi baru dimulai pada hari Sabtu dan meraih kemenangan berturut-turut dan terus melakukannya untuk mencapai tujuan mulianya, yang terutama adalah pemerintahan sipil yang mengarahkan kita menuju peralihan sejati ke pemerintahan demokratis," sebut RSF.
Diketahui, keengganan RSF untuk memenuhi tuntutan Panglima Militer dan Penguasa Militer Sudan Jenderal Abdel Fattah Al Burhan dan politisi sipil, agar kelompok paramiliter diintegrasikan ke dalam angkatan bersenjata merupakan inti dari konflik.
Ini adalah satu-satunya hambatan yang tersisa untuk penyelesaian krisis politik jangka panjang untuk memulihkan transisi demokrasi Sudan, yang dikacaukan oleh kudeta militer tahun 2021 yang dipimpin oleh Jenderal Al Burhan dan Jenderal Dagalo.
Pertempuran terus berlanjut meskipun ada seruan untuk gencatan senjata oleh kekuatan dunia dan kelas berat regional termasuk AS, Inggris, Arab Saudi dan UEA.
“Situasi ini telah menyebabkan banyak korban jiwa, termasuk banyak warga sipil,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Hari Senin, saat dia menyerukan gencatan senjata dan dialog.