Bagikan:

WASHINGTON - Setelah pembicaraan selama satu pekan di kota pelabuhan Jeddah, Arab Saudi, Angkatan Bersenjata Sudan dan kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) menandatangani "Deklarasi Komitmen untuk Melindungi Warga Sipil Sudan," kata Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Kamis, 11 Mei.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, Jumat, 12 Mei, menyambut baik kesepakatan antara para jendral yang bertikai di Sudan ini untuk memungkinkan aliran bantuan kemanusiaan yang aman di negara tersebut.

Namun, Guterres juga menekankan perlunya gencatan senjata yang lebih luas di Sudan.

"Sementara pekerja kemanusiaan, terutama mitra lokal, terus memberikan bantuan dalam keadaan yang sangat sulit, Sekretaris Jenderal (Guterres) berharap Deklarasi (Pakta Kemanusiaan) ini akan memastikan bahwa operasi bantuan dapat ditingkatkan dengan cepat dan aman untuk memenuhi kebutuhan jutaan orang di Sudan," kata Juru Bicara Sekjen PBB Stephane Dujarric dalam sebuah pernyataan.

"Dia (Guterres) mengulangi seruannya untuk gencatan senjata segera dan memperluas diskusi untuk mencapai penghentian permusuhan secara permanen," ujar Dujarric dilansir ANTARA, Sabtu, 13 Mei.

Semua pihak sekarang akan menggunakan forum Jeddah untuk "fokus pada pencapaian kesepakatan tentang gencatan senjata yang efektif hingga sekitar 10 hari untuk memfasilitasi kegiatan (forum) ini. Langkah keamanan akan mencakup mekanisme pemantauan gencatan senjata yang didukung AS-Saudi dan komunitas internasional," tambahnya.

Dujarric mengatakan bahwa PBB "tidak akan menyia-nyiakan upaya untuk membantu" pelaksanaan pakta kemanusiaan itu, "dan akan terus memberikan bantuan kemanusiaan, terlepas dari adanya gencatan senjata atau tidak."

Pada 15 April, pertempuran meletus antara tentara Sudan dan RSF di ibukota Khartoum dan sekelilingnya. Lebih dari 600 orang telah tewas dan ribuan lainnya terluka.

Ketidaksepakatan telah muncul beberapa bulan terakhir antara tentara Sudan dan RSF tentang integrasi RSF ke dalam angkatan bersenjata, yang merupakan satu syarat utama perjanjian transisi Sudan dengan kelompok-kelompok politik.

Sudan tidak memiliki pemerintahan yang berfungsi sejak Oktober 2021 saat militer membubarkan pemerintahan transisi Perdana Menteri Abdalla Hamdok dan menyatakan keadaan darurat dalam sebuah langkah yang dikecam oleh kekuatan politik sebagai "kudeta."

Masa transisi Sudan, yang dimulai pada Agustus 2019 setelah penggulingan Presiden Omar al-Bashir, dijadwalkan berakhir dengan pemilihan umum pada awal 2024.