Faksi yang Bertikai di Sudan Sepakati Gencatan Senjata Selama 72 Jam di Tengah Upaya Evakuasi Warga Asing
Ilustrasi kondisi di Sudan. (Wikimedia Commons/Osama Eid)

Bagikan:

JAKARTA - Faksi-faksi yang bertikai di Sudan menyetujui gencatan senjata 72 jam mulai Selasa, saat negara-negara Barat, Arab dan Asia berupaya mengevakuasi warganya dari negara itu.

Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) mengatakan, Amerika Serikat dan Arab Saudi memediasi gencatan senjata itu. Menteri Luar Negeri AS Anthony Blinken mengumumkan perjanjian itu terlebih dahulu, mengatakan itu mengikuti negosiasi intensif selama dua hari.

Diketahui, Pertempuran meletus antara kelompok paramiliter SAF dan Rapid Support Forces (RSF) pada 15 April. Sejauh ini, sedikitnya 427 orang tewas, melumpuhkan rumah sakit dan layanan lainnya, serta mengubah daerah pemukiman menjadi zona perang. Kedua belah pihak tidak mematuhi beberapa kesepakatan gencatan senjata sementara sebelumnya.

"Selama periode ini, Amerika Serikat mendesak SAF dan RSF untuk segera dan sepenuhnya menegakkan gencatan senjata," kata Blinken dalam sebuah pernyataan, melansir Reuters 25 April.

Dia mengatakan, AS akan berkoordinasi dengan kepentingan sipil regional, internasional dan Sudan untuk membentuk sebuah komite yang akan mengawasi gencatan senjata permanen dan pengaturan kemanusiaan.

Sementara itu, RSF mengonfirmasi di Khartoum bahwa pihaknya telah menyetujui gencatan senjata, mulai tengah malam, untuk memfasilitasi upaya kemanusiaan.

"Kami menegaskan komitmen kami untuk gencatan senjata penuh selama periode gencatan senjata," sebut RSF.

Sedangkan SAF mengatakan di halaman Facebook-nya, pihaknya juga menyetujui kesepakatan gencatan senjata.

Terpisah, koalisi kelompok masyarakat sipil Sudan yang telah menjadi bagian dari negosiasi transisi menuju demokrasi menyambut baik berita tersebut.

Menjelang pengumuman gencatan senjata malam, serangan udara dan pertempuran darat mengguncang Omdurman, salah satu dari tiga kota yang berdekatan di wilayah ibu kota, dan terjadi juga bentrokan di ibu kota Khartoum, kata seorang wartawan Reuters.

Asap gelap menyelimuti langit di dekat bandara internasional di pusat Khartoum, bersebelahan dengan markas tentara, dan ledakan tembakan artileri menggetarkan sekitarnya.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, kekerasan di negara yang mengapit Laut Merah, Tanduk Afrika dan wilayah Sahel "berisiko menimbulkan bencana besar ... yang dapat melanda seluruh wilayah dan sekitarnya".

Sekjen PBB mendesak 15 anggota Dewan Keamanan menggunakan pengaruh mereka untuk mengembalikan Sudan ke jalur transisi demokrasi. Rencananya, Dewan Keamanan PBB akal menggelar pertemuan di Sudan pada Hari Selasa.

Diketahui, otokrat Omar al-Bashir digulingkan dalam pemberontakan rakyat pada tahun 2019, dengan tentara serta RSF bersama-sama melakukan kudeta militer tahun 2021. Namun dua tahun kemudian, mereka berselisih selama negosiasi untuk mengintegrasikan dan membentuk pemerintahan sipil.