Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta eks pejabat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Rafael Alun Trisambodo kooperatif. Dia diharap mengikuti proses penyidikan dugaan gratifikasi yang menjeratnya.

"Kami mengingatkan tersangka agar kooperatif pada proses-proses penyidikan yang sedang kami lakukan ini," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri kepada wartawan, Sabtu, 1 April.

Ali bilang tersangka juga punya hak untuk membantah. Tapi, dia menilai bantahan itu lebih cocok disampaikan di hadapan penyidik.

Lagipula, proses hukum yang berjalan saat ini dipastikan sudah sesuai aturan. "Silakan yang bersangkutan untuk sampaikan langsung di hadapan Tim Penyidik KPK sehingga nantinya dapat diuji secara terbuka pada proses persidangan," tegasnya.

Diberitakan sebelumnya, Rafael Alun menegaskan selalu menaati aturan KPK untuk melaporkan kekayaan setiap tahun. Ia merasa tak pernah menyembunyikan hartanya sehingga bingung saat ditetapkan jadi tersangka.

"Saya dapat mengklarifikasi bahwa saya selalu tertib melaporkan SPT-OP dan LHKPN, tidak pernah menyembunyikan harta, dan siap menjelaskan asal usul setiap aset tetap," kata Rafael Alun di Jakarta, Jumat, 31 Maret.

Sementara itu, KPK menetapkan Rafael Alun jadi tersangka. Dia diduga menerima gratifikasi hingga puluhan miliar sejak 2011-2023 terkait pemeriksaan pajak.

Penetapan ini dilakukan komisi antirasuah setelah mereka menyelidiki harta jumbo milik Rafael Alun yang terbongkar setelah anaknya, Mario Dandy menganiaya pelajar berusia 17 tahun, David. Diduga ada permainan dibalik kepemilikan kekayaan sebesar Rp56 miliar.

Dalam penyelidikan, KPK telah meminta keterangan dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya Jakarta Timur (Jaktim) Wahono Saputro. Pemanggilan ini dilakukan karena istrinya diduga punya saham di perusahaan milik istri Rafael, Erni Torondek.

Selain itu, penyelidik juga menelisik terkait temuan safe deposit box milik Rafael yang di dalamnya terdapat duit miliaran. Temuan yang sudah diblokir oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) itu diduga berasal dari penerimaan suap.