Bagikan:

JAKARTA - Terdakwa Ferdy Sambo mengklaim selalu merenung di balik jeruji besi mengenai rangkaian kasus pembunuhan Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Buntut perkara itu membuat kehidupannya berbalik drastis.

"Di dalam jeruji tahanan yang sempit saya terus merenungi betapa rapuhnya kehidupan saya sebagai manusia," ujar Ferdy Sambo dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa, 24 Januari.

"Tak pernah terbayangkan jika sebelumnya kehidupan saya yang begitu terhormat dalam sekejap terperosok dalam nestapa dan kesulitan yang tidak terperikan," sambungnya.

Rasa penyesalan selalu menyelimutinya. Ferdy Sambo mengaku tak berpikir jernih karena dipengaruhi emosi.

Tak dipungkiri, perasaannya hancur ketika mendengar kabar soal istrinya, Putri Candrawathi, telah dilecehkan Brigadir J.

Karenanya, saat itu Ferdy Sambo memerintahkan Richard Eliezer alias Bharada E menembak Brigadir J.

"Demikianlah penyesalan kerab tiba  belakangan, tertinggal oleh amarah dan murka yang mendahului," kata Ferdy Sambo.

Dalam kasus ini, Ferdy Sambo disebut sebagai otak kejahatan kasus pembunuhan berencana Yosua alias Brigadir J.

Selain itu, Ferdy Sambo juga disebut turut serta menembak Brigadir J. Tembakan itu diarahkan ke bagian belakang kepala.

Eks Kadiv Propam itu juga disebut sengaja memerintahkan Richard Eliezer alias Bharada E untuk mengamankan senjata api (senpi) Brigadir J. Tujuannya, agar proses eksekusi berjalan mudah.

Adapun, proses eksekusi Brigadir J dilakukan di rumah dinas Ferdy Sambo yang berarda di kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan, pada 8 Juli.

Tindakan Ferdy Sambo dianggap jaksa telah memenuhi unsur Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP. Sehingga, ia dituntut pidana penjara seumur hidup.