Bagikan:

JAKARTA - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengatakan perlu optimalisasi lanjutan terkait pemulihan korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni pemberian bantuan.

"Sejak tahun 2012, LPSK melalui berbagai program perlindungan telah melakukan pemulihan terhadap ribuan korban pelanggaran HAM berat," kata Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo, di Jakarta, Selasa 17 Januari, disitat Antara.

Merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2018 jo PP Nomor 35 Tahun 2020 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada Saksi dan Korban mengatur beberapa hal.

Pertama, lanjut dia, korban pelanggaran HAM berat berhak memperoleh bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.

Kedua, permohonan bantuan diajukan secara tertulis kepada LPSK, berikutnya permohonan bantuan harus dilampiri surat keterangan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang menunjukkan pemohon sebagai saksi dan atau korban atau keluarga saksi atau korban pelanggaran HAM berat.

Kemudian keempat, pemberian bantuan ditetapkan melalui keputusan LPSK, dan terakhir dalam melaksanakan pemberian bantuan LPSK bisa bekerja sama dengan kementerian/lembaga, pemerintah daerah, swasta atau organisasi nonpemerintah.

Senada dengan itu, Wakil Ketua LPSK Antonius PS Wibowo menyebutkan, sejak 2012 hingga 2021, LPSK telah melakukan pemulihan setidaknya bagi 4.000 orang korban pelanggaran HAM berat.

Para korban berasal dari beberapa peristiwa, di antaranya peristiwa 1965/1966, penghilangan paksa 1997/1998, Tanjung Priok, Talangsari, Jambo Keupok, Simpang KKA Aceh, dan Rumah Geudong Aceh.

"Pemulihan dilakukan melalui pemberian bantuan medis, rehabilitasi psikososial dan psikologis dengan setidaknya 4.500 layanan," ujar dia pula.

Dalam waktu dekat LPSK berencana melakukan penguatan organisasi dan kapasitas internal lembaga. LPSK segera berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait penguatan tersebut. Di samping itu, instansi tersebut juga akan lebih proaktif mengajak dan melibatkan berbagai kementerian/lembaga untuk melakukan pemulihan.

Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 44 PP Nomor 35 Tahun 2020. Apalagi, pada tahun 2023 program rehabilitasi psikososial sudah menjadi kegiatan prioritas nasional yang sejalan dengan upaya pemulihan korban termasuk pelanggaran HAM berat, ujar Antonius.

Pada tahun 2020, LPSK melakukan sebuah riset. Hasilnya, mayoritas korban pelanggaran HAM berat (50 persen) menginginkan negara memberikan bantuan medis, rehabilitasi psikososial dan psikologis.

Kemudian, 35 persen dari mereka menginginkan pengungkapan kebenaran oleh negara segera dilakukan. Selanjutnya,

10 persen menginginkan pelaku dipidana, dan lima persen korban menginginkan permintaan maaf dari negara.