JAKARTA - Kemarahan Barat atas pasokan drone Iran yang kemudian digunakan dalam konflik di Ukraina, adalah bukti keefektifannya menurut pejabat militer Teheran.
Kepala Staf Militer Iran Mayor Jenderal Mohammad Bagheri mengatakan, pernyataan yang mengutuk pasokan itu "sebagian besar salah" tetapi menunjukkan "keefektifan, pentingnya dan peringkat tinggi" pekerjaan Iran pada pengembangan drone.
"Angkatan bersenjata negara akan terus tumbuh dan mengembangkan drone mereka. Kami akan bekerja sama dengan negara lain dalam drone," kata Jenderal Bagheri, menurut kantor berita Iran Tasnim, melansir The National News 26 Desember.
"Sistem drone kami berada pada peringkat tinggi di dunia dalam hal akurasi, daya tahan dan kontinuitas operasi dan pelaksanaan misi, dan mereka melakukan berbagai misi," tambahnya.
Iran telah mengakui memasok apa yang oleh para analis disebut drone serang satu arah, pesawat tak berawak kecil yang dilengkapi dengan bahan peledak yang terbang langsung ke sasaran, mengklaim senjata itu dipasok ke Rusia sebelum perang.
Selain itu, Iran juga telah memasok drone yang lebih besar, yang dapat dilengkapi dengan rudal, Mohajer, yang juga telah dipasok ke milisi sekutu di Irak.
Terpisah, Ukraina mengatakan telah menembak jatuh sejumlah drone sejak Agustus, ketika AS mengatakan Iran telah mengirim ratusan pesawat ke Rusia.
Drone paling populer yang dikirim diyakini adalah model Shahed-136, yang telah digunakan secara luas oleh Iran dan sekutunya, termasuk milisi Houthi di Yaman, untuk menyerang infrastruktur energi dan perkapalan di Timur Tengah.
Diketahui, drone telah digunakan dengan cara yang sama di Ukraina, menyerang target infrastruktur energi besar seperti pembangkit listrik, mematikan setidaknya 10 gigawatt daya dari kapasitas 50 gigawatt Ukraina. Jutaan orang dibiarkan tanpa listrik atau pemanas karena suhu malam hari turun jauh di bawah nol.
Iran dikatakan memasok drone ke Rusia, lantaran Moskow dinilai kehabisan rudal dan drone yang akurat, dijuluki amunisi berpemandu presisi oleh para analis.
Baik Ukraina maupun Rusia dikatakan kekurangan amunisi artileri, yang menyebabkan kekhawatiran bahwa konflik akan memasuki jalan buntu yang berkepanjangan.
Intensitas konflik yang tinggi di Ukraina, yang seringkali mengakibatkan Rusia meluncurkan sejumlah rudal dan drone peledak dalam satu gelombang serangan, telah menghabiskan persenjataan Rusia.
Sanksi Barat yang menargetkan pemasok komponen, termasuk perusahaan yang memasok microchip untuk sensor dan peralatan navigasi untuk drone dan rudal, telah memperlambat kapasitas Rusia untuk memproduksi cukup banyak senjata.
Sementara itu, pasokan pesawat tak berawak Iran ke Rusia telah memicu kemarahan di Eropa dan AS, dengan beberapa diplomat bahkan mengatakan telah menghentikan kemungkinan memperbarui Kesepakatan Nuklir 2015 untuk meringankan sanksi, sebagai imbalan Iran menerima inspeksi PBB terhadap situs nuklir.
BACA JUGA:
Pada Bulan September, kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrel mengatakan: "Kami hanya tidak melihat kesepakatan datang bersama dalam waktu dekat, sementara Iran terus membunuh warganya sendiri dan menjual UAV [kendaraan udara tak berawak] ke Rusia."
AS dan Uni Eropa telah memukul Iran dengan sanksi baru atas pasokan drone, yang mengancam akan merusak upaya Barat senilai 60 miliar dolar AS untuk melengkapi Ukraina dengan senjata guna menangkis invasi Rusia.