Rezim Militer Myanmar Bebaskan 6.000 Tahanan: Ada Ekonom Australia, Diplomat Inggris dan Sutradara Jepang
Penjara Insein di Yangon, salah satu tempat yang digunakan rezim militer Myanmar untuk menahan mereka yang ditangkap usai kudeta 1 Februari 2021. (Wikimedia Commons/Phyo WP)

Bagikan:

JAKARTA - Rezim militer Myanmar membebaskan sekitar 6.000 tahanan dari penjara di bawah amnesti, menurut media Myanmar Hari Kamis.

Di antara mereka yang dibebaskan oleh rezim militer adalah ekonom Australia Sean Turnell, yang juga mantan penasihat pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi.

Irrawaddy News dan BBC Burma melaporkan Vicky Bowman, mantan utusan Inggris dan Toru Kubota, pembuat film Jepang, juga termasuk di antara mereka yang dibebaskan junta.

Turnell telah didakwa melanggar undang-undang rahasia negara. Sedangkan Kubota dengan penghasutan dan pelanggaran undang-undang komunikasi.

Bowman telah didakwa dengan pelanggaran imigrasi. Ia diketahui dipenjara bersama suaminya, seniman terkemuka Burma Ko Htein Lin.

Myanmar berada dalam kekacauan politik sejak militer melakukan kudeta tahun lalu, menangkapi para pemimpin sipil termasuk Aung San Suu Kyi dalam penggerebekan dini hari pada 1 Februari 2021.

Myanmar Now, sebuah outlet berita independen, mengutip dewan militer yang mengatakan pengampunan diberikan karena itu adalah Hari Nasional Myanmar.

"Pada Hari Nasional, dewan militer mengumumkan bahwa hampir 6.000 tahanan dibebaskan. Di antaranya adalah empat orang asing dan 11 selebritas," melansir Reuters dari Myanmar Now 17 November.

Diketahui, Rezim militer Myanmar telah menangkap lebih dari 16.000 orang sejak merebut kekuasaan, mengutip BBC. Sementara menurut Reporters Without Borders, setidaknya 68 jurnalis ditahan di Myanmar sebelum amnesti hari ini.

Militer di Myanmar telah dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang meluas sejak merebut kekuasaan. Menurut kelompok pemantau Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), lebih dari 2.400 orang telah dibunuh oleh militer sejak kudeta.

Terkait pembebasan ini, juru bicara junta tidak menjawab panggilan telepon Reuters untuk meminta komentar. Sementara, Kementerian Luar Negeri Australia dan Jepang tidak segera menanggapi permintaan komentar.