JAKARTA - Pencabutan Tap MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno berbuntut panjang. Negara diminta untuk meminta maaf kepada Bung Karno dan trahnya.
Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, mempertanyakan urgensi dari permintaan PDI Perjuangan (PDIP) itu. Menurutnya, perlu kajian mendalam dan ojektifitas dalam menyikapi hal ini.
"Ya harus dilihat secara komprehensif kasusnya, dilakukan pendalaman terkait persoalan sesungguhnya. Saya tidak bisa katakan perlu atau tidak [minta maaf]," ujar Ujang kepada VOI, Jumat, 11 November.
Adapun dalam Tap MPR Nomor XXXIII/MPRS/1967 disebutkan Soekarno menerbitkan kebijakan yang dianggap menguntungkan sejumah tokoh Gerakan 30 September (G30S) yang merujuk pada peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tap MPR Nomor XXXIII/MPRS/1967 itu kemudian ditegaskan telah dicabut. Presiden Jokowi mengatakannya pada Senin 7 November.
Merespons hal itu, Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah meminta negara untuk meminta maaf kepada Bung Karno dan keluarganya. Dia menganggap NKRI telah berlaku tidak adil kepada Bung Karno semasa hidupnya.
Wakil Ketua Komisi III DPR Fraksi Gerindra Desmond J Mahesa menanggapi permintaan itu. Desmond bilang permintaan maaf kepada Bung Karno dan keluarga terlalu berlebihan dan mengada-ngada. Tak lama Desmond digeruduk kader PDIP Purworejo.
Menurut Ujang, sikap geram PDIP itu dipengaruhi oleh predikat partai penguasa. Sehingga, lanjut dia, ketika merasa terlukai maka pihak lain dianggap bersalah. Di satu sisi, seharusnya PDIP bisa melihat persoalan ini lebih rasional lagi.
"Dulu mungkin persoalan dianggap biasa karena PDIP tidak berkuasa, tapi ketika berkuasa dan ada yang mengatakan begitu sehingga dianggap melukai, itulah sejarahnya pemilik para pemenang," tuturnya.
"Jadi soal apakah negara bisa campur tangan urusan itu, ya saya melihat tergantung siapa yang berkuasa," sambung Ujang.
BACA JUGA:
Ujang pun berpendapat semestinya PDIP melakukan kajian internal untuk menyikapi kehadiran Tap MPR Nomor XXXIII/MPRS/1967 hingga akhirnya dicabut. Kajian yang dapat menghasilkan respons dari dicabutnya ketetapan tersebut berdasarkan pandangan yang objektif di masa lalu dan saat ini.
Terkait dengan sentilan dari pihak lain, Ujang memandang tak perlu dirisaukan jika dapat dijelaskan lewat hasil kajian tersebut.
"Karena respons pihak luar dianggap sentimentil, padahal PDIP tentu punya argumen sendiri terkait persoalan itu. Apa yang menyangkut negara harus objektif dan rasional berdasarkan ketentuan UU," tandasnya.