Bagikan:

JAKARTA - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut bahwa kasus gagal ginjal akut progesif atipikal atau acute kidney injury (AKI) di Indonesia saat ini belum masuk dalam status kejadian luar biasa (KLB).

"Terkait status KLB, kita sudah diskusi, belum masuk KLB," kata Budi dalam konferensi pers di kantor Kemenkes, Jumat, 21 Oktober.

Budi menguraikan, per tanggal 21 Oktober 2022, telah dilaporkan adanya 241 kasus gagal ginjal akut di 22 provinsi. Sebanyak 133 kasus meninggal dunia dengan persentase 55 persen dari total kasus.

Rinciannya, pada bulan Januari tercatat sebanyak 2 kasus, Februari 0 kasus, Maret 2 kasus, April 0 kasus, Mei 5 kasus, Juni 3 kasus, Juli 5 kasus, Agustus 36 kasus, September 78 kasus, dan Oktober sementara ini 110 kasus.

Berdasarkan proporsi kelompok umur, kasus gagal ginjal akut pada pasien di bawah 1 tahun sebanyak 26 kasus, 1-5 tahun 153 kasus, 6-10 tahun 37 kasus, 11-18 tahun 25 kasus.

"Kita mulai lihat ada lonjakan di bulan Agustus, naik sekitar 36 kasus. Sehingga begitu ada kenaikan, kita mulai melakukan penelitian ini penyebabnya apa," ungkap dia.

Sebelumnya, Ahli epidemiologi dari Griffith University Australia, Dicky Budiman menyebut bahwa sudah saatnya pemerintah menetapan status Kejadian Luar Biasa (KLB) pada penyakit gagal ginjal akut yang melanda Indonesia.

Merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1501 Tahun 2010 status KLB ditetapkan saat timbulnya atau meningkatnya kesakitan dan/atau kematian dalam kurun waktu tertentu yang dapat menjurus pada terjadinya wabah.

"Kenapa harus ditetapkan sebagai KLB, karena kriterianya terpenuhi. Pemahaman mendasar dari KLB adalah adanya satu kejadian yang tidak lazim. (Gagal ginjal akut) ini kan tidak lazim karena adanya kematian dalam waktu yang relatif periodenya sama dan tidak pernah terjadi sebelumnya. Ini kan masuk kategori KLB," kata Dicky.

Status KLB sebagai penanganan kasus-kasus gagal ginjal akut, menurut Dicky, menjadi penting. Sebab, ketika satu penyakit yang serius ditetapkan sebagai KLB, maka mobilisasi sumber daya hingga koordinasi menjadi lebih terpenuhi oleh satu regulasi.

Sehingga, kondisi keterbatasan finansial, SDM, hingga teknologi yang diperlukan dalam penanganan kasus pada suatu daerah bisa terbantu.

"Meskipun memang di sisi pemerintah tidak akan mengenakkan, menunjukkan satu kejadian yang misalnya, obat yang ada di Indonesia tercemar atau kelemahan dalam aspek pengawasan, ya apa boleh buat. Itu memang faktanya," ujar Dicky.