Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) memperkenankan pemilih Pilkada 2020 yang tengah menjalani perawatan atau isolasi mandiri karena terinfeksi positif COVID-19 untuk mencoblos.

Nantinya, kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) mendatangi rumah sakit atau rumah warga yang melakukan isolasi mandiri. Namun hal ini mendapat kritikan dari banyak pihak di media sosial.

Soal kritik itu, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Abhan menjelaskan kebijakan ini semata-mata demi melindungi hak pilih tiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai pemilih.

"Soal yang positif ini, mereka tidak hilang hak pilihnya. KPU harus tetap melayani. Kalau seandainya harus datang ke rumah sakit atau rumah tempat isolasi, maka itu juga bagian dari pengawasan kami," kata Abhan di gedung Bawaslu, Jumat, 4 Desember.

Abhan memahami ada kekhawatiran penularan COVID-19 yang lebih besar ketika KPPS mendatangi rumah pemilih yang sedang positif COVID-19. 

Namun, menurut dia, KPU telah merancang protokol sedemikian rupa untuk mencegah penularan seperti penggunaan alat pelindung diri (APD) baju hazmat.

"Itu SOP yang dirancang KPU dalam rangka agar Pilkada 2020 tidak menimbulkan klaster baru," kata Abhan.

Seperti diketahui, terhadap pasien yang dirawat inap atau isolasi di fasilitas kesehatan, mulanya KPU kabupaten/kota dibantu oleh PPK dan PPS melakukan pendataan pemilih sehari sebelum hari pemungutan suara.

Kemudian, Ketua KPPS setempat menugaskan dua anggota KPPS dan dapat didampingi oleh pengawas pemilu kelurahan/desa atau pengawas TPS dan saksi dengan membawa perlengkapan pemungutan suara, mendatangi rumah sakit tersebut.

Pelayanan penggunaan hak pilih bagi pasien dilaksanakan mulai pukul 12.00 waktu setempat sampai dengan selesai. Anggota KPPS yang membantu pasien menggunakan hak pilihnya wajib merahasiakan pilihan pemilih yang bersangkutan.

Sementara, terkait dengan pemilih yang positif COVID-19 dan melakukan isolasi mandiri, hak pilihnya dengan cara mendatangi pemilih tersebut dengan persetujuan saksi dan pengawas pemilu.

Hal ini mendapat kritikan dari warganet, salah satunya adalah ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia, Pandu Riono lewat akun Twitter @drpriono1.

"Rakyat yang sedang dirawat di RS janganlah dipaksa untuk memberikan suara. Pemberian suara itu sukarela, dan bila sehat dan sadar. Bila diimplementasikan maka dapat membahayakan nyawa manusia yang sakit dan petugas. Gunakan akal sehat," cuit Pandu.