JAKARTA - Waktu pencoblosan Pilkada 2020 akhirnya tiba. Sebanyak 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota bakal melaksanakan pesta demokrasi untuk memilih kepala daerah yang akan memimpin selama lima tahun ke depan di tengah pandemi COVID-19.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian optimis pemilihan kepala daerah ini bakal antusias diikuti masyarakat meski diselenggarakan di situasi penyebaran COVID-19 masih terjadi. Dia mengklaim, masyarakat percaya tak akan klaster baru usai pesta demokrasi ini.
Klaim ini muncul setelah dirinya membaca hasil survei yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang menyatakan 83 responden bakal menggunakan hak pilihnya pada hari ini. Kalaupun ada masyarakat yang tidak ikut memilih, hal ini bukan disebabkan rasa takut tertular COVID-19 melainkan karena hal lain, termasuk tidak adanya calon yang dirasa tepat.
"Jadi kalau ada yang tidak hadir memilih bukan karena takut tertular corona, tapi juga karena menganggap pilkada tidak penting dan tidak ada calon yang meyakinkan," kata Tito saat memberikan sambutan dalam kegiatan rapat koordinasi jelang Pilkada Serentak, Selasa, 8 Desember.
"Kalau memang 83 persen menyatakan memilih, artinya menggunakan hak pilih ini, kami kira ini akan baik untuk memberikan legitimasi kepada para paslon yang mungkin memenangkan," imbuhnya.
Diketahui, Minggu, 6 Desember lalu SMRC mengeluarkan hasil survei yang bertajuk Kesiapan Warga Mengikuti Pilkada di Masa COVID-19. Temuan lembaga survei ini, mayoritas warga antusias untuk mengikuti gelaran ini dan punya tingkat kesadaran tinggi mengenai rencana penyelenggaraan pilkada.
Hasil ini didapatkan dari survei yang digelar pada 4-7 November lalu lewat wawancara melalui sambungan telepon terhadap 1.200 respon yang terpilih secara acak. Margin of error survei ini diperkirakan kurang lebih 2,9 persen.
SMRC menyebut, pada tingkat nasional, 79 persen masyarakat tahu mengenai penyelenggaraan pilkada. Sementara, sekitar 91 persen warga yang tinggal di daerah pilkada tahu jika pesta demokrasi akan segera digelar.
Dari masyarakat yang tahu, sebanyak 92 persen responden atau 83 persen dari populasi di 270 kabupaten/kota dan provinsi mengaku bakal ikut memilih. Sementara sisanya, sekitar 8 persen mengaku tidak akan memilih.
Meski antusiasme tinggi, lembaga survei ini menyebut ada 77 persen masyarakat yang berada di daerah yang menggelar pilkada mengaku khawatir akan tertular COVID-19. Tapi, di saat yang bersamaan, 64 persen masyarakat tetap menginginkan pilkada untuk digelar karena mereka berharap memiliki pemimpin daerah yang memiliki mandat dari rakyat, bukan karena ditunjuk pemerintah.
Senada dengan temuan SMRC, Direktur Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin juga menilai angka partisipasi pemilih di hari ini akan tetap tinggi atau bahkan mencapai 70 persen. Namun, alasan yang dikemukakannya bukan karena ingin pemimpin yang mereka pilih sendiri, melainkan masyarakat sudah merasa tidak lagi peduli dengan COVID-19 apalagi cukup banyak daerah yang tidak memiliki kesadaran terhadap protokol kesehatan.
Alasan kedua, para pemilih ini bisa saja dimobilisasi oleh para timses dan para calon agar datang ke TPS dengan iming-iming tertentu. "Sehingga, melihat kemungkinan ini, pemilih akan tetap memilih dan persentasenya bisa di atas 70 persen," katanya.
Lebih lanjut, untuk menekan angka pelanggar protokol kesehatan, Ujang menilai, perlu diterapkan sanksi tegas terhadap pemilih yang melanggar protokol kesehatan. Meski akan sulit pelaksaannya di lapangan, tapi hal ini tetap harus dilakukan agar Pilkada tetap terjaga dan COVID-19 tidak menyebar.
Aturan saat mencoblos di tengah pandemi
Sebagai penyelenggara pilkada, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebenarnya telah menyiapkan sejumlah sarana dan prasarana termasuk aturan baru dalam melakukan pencoblosan. Seluruh aturan ini harus ditegakkan tanpa terkecuali oleh masyarakat. Seperti yang ditayangkan di akun YouTube KPU RI, ada sejumlah aturan baru dalam pelaksanaan pencoblosan yang aman COVID-19.
Pertama, pemilih yang datang ke tempat pemungutan suara (TPS) diwajibkan untuk memakai masker dan wajib menjaga jarak aman.
Kedua, pemilih diwajibkan untuk mencuci tangan ketika tiba di TPS, saat akan mencoblos, dan sesudah mencoblos di sarana cuci tangan yang telah disediakan. Ketiga, sebelum masuk ke TPS, pemilih akan diukur suhu tubuhnya. Bagi pemilih yang tinggi suhu tubuhnya atau lebih dari 37,3 derajat celcius, akan dipersilakan memilih di bilik suara khusus.
Keempat, guna mencegah penularan melalui sentuhan, pemilih diharuskan memakai sarung tangan dari plastik yang disediakan oleh panitia TPS saat mencoblos. Kelima, berbeda dari tahun biasa, di tengah pandemi ini masyarakat tidak akan lagi mencelupkan jari mereka ke tinta pemilu melainkan hanya ditetesi saja.
BACA JUGA:
Keenam, jumlah pemilih di satu TPS nantinya hanya dibatasi untuk 500 orang dan seluruh Kelompok Petugas Pemungutan Suara (KPPS) nantinya akan diwajibkan untuk memakai alat pelindung diri (APD) berupa masker, pelindung wajah atau faceshield, dan sarung tangan guna mencegah terjadinya penularan.
Aturan Ketujuh, tidak boleh ada kerumunan maupun kontak fisik di TPS saat pencoblosan, termasuk bersalaman dan lainnya.
Kedelapan, guna mencegah paparan virus, masing-masing TPS akan disemprot disinfektan secara berkala.
Terakhir, nantinya jam pencoblosan para pemilih bakal di atur dan hal ini tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pemungutan Suara. Lewat surat ini, nantinya ada info waktu pencoblosan dan imbauan agar pemilih harus memakai masker, membawa pulpen, dan identitas diri seperti KTP maupun Surat Keterangan Perekaman KTP. Adapun jadwal pencoblosan Pilkada 2020 pada 9 Desember besok akan dimulai pada pukul 07.00-13.00 waktu setempat.
Sanksi untuk yang melanggar protokol kesehatan
Juru Bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito menyebut para pemilih yang melanggar protokol kesehatan di tempat pemungutan suara (TPS) nantinya akan diberikan sanksi, bisa berupa teguran hingga dilarang mencoblos. Ketegasan terhadap pelanggar protokol ini, kata dia, perlu diambil guna mencegah terjadinya klaster baru. Karena, Pilkada 2020 baru bisa dikatakan berhasil digelar jika tidak terjadi klaster baru usai pemungutan suara berlangsung.
"Satgas meminta adanya tindakan tegas apabila para pemilih tidak menegakkan disiplin kesehatan saat Pilkada. Apabila pemilih tidak menerapkan disiplin maka penyelenggara berhak menolak partisipasi pemilih di TPS yang bersangkutan demi keselamatan masyarakat," kata Wiku dalam konferensi pers secara daring yang ditayangkan di akun YouTube Sekretariat Presiden, Selasa, 8 Desember.
Sanksi tegas ini juga diberikan kepada pemilih yang kedapatan berkerumun di TPS atau saat pemilihan umum berlangsung. Wiku mengatakan, satgas pusat telah memerintahkan satgas daerah untuk menindak mereka dengan memberikan teguran keras hingga melakukan pembubaran kerumunan.
Selain itu, Wiku juga meminta masyarakat proaktif memberikan laporan ketika ada pelanggaran protokol kesehatan di sekitar mereka, terutama saat proses pemungutan suara berlangsung.
"Apabila masyarakat mendapati adanya pelanggaran di TPS tempat mereka memilih, masyarakat berhak untuk melaporkan kepada tugas dan meminta untuk melakukan tindakan yang tegas," ujarnya.