Rizieq: Jangan Pikir Revolusi Akhlak adalah Revolusi Bersenjata dan Pemberontakan
DOKUMENTASI VOI/Rizieq Shihab (Foto: Irfan Meidianto)

Bagikan:

JAKARTA - Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab kembali bicara soal revolusi akhlak. Rizieq mengatakan, seruan revolusi akhlak yang disampaikannya itu bukan berarti dirinya mengajak pendukungnya melakukan pemberontakan atau mengangkat senjata.

Revolusi akhlak, kata dia, adalah sebuah upaya untuk memperbaiki hal-hal yang ada di Indonesia melalui jalur dialog dengan berbagai pihak termasuk pemerintah.

"Jadi jangan ada yang berpikir revolusi akhlak itu revolusi senjata, revolusi pemberontakan. Enggak betul," kata Rizieq dalam acara Dialog Nasional 100 Ulama dan Tokoh yang ditayangkan secara daring di Front TV, Rabu, 2 Desember.

Sebagai ulama, Rizieq menegaskan dirinya tak ada niatan untuk melakukan pemberontakan. Apalagi, guru-gurunya mendidik setiap habib dan ulama harus mengakui pemerintahan yang sah.

"Tapi kita objektif. Kebijakan bagus, baik, harus kita apresiasi, kita terima, dan jalankan. Adapun kebijakan yang tidak populer, membahayakan keselamatan bangsa dan negara, menindas, harus kita kritisi," tegasnya.

Dia juga mengingatkan, kritik yang dilontarkan jangan sampai diartikan sebagai tindak makar maupun pemberontakan. 

"Jadi kita ingatkan, revolusi akhlak jangan digambarkan sebagai revolusi berdarah-darah, makar, pemberontakan, menjatuhkan pemerintah yang sah. Tidak begitu. Kita membuka diri, dialog, rekonsiliasi. Ayo sama-sama kita terbuka dan saling mengkritik," ungkapnya.

"Kecuali dalam konteks ada habib dan ulama, kiai umat Islam dibantai, genosida. Itu dalam konteks membela diri. Dalam hukum agama dan internasional itu diperbolehkan," imbuhnya.

Rizieq menegaskan revolusi akhlak memang sangat dibutuhkan saat ini dan harus menjadi fokus. Sebab, banyak hal perlu diperbaiki saat ini dari mulai penegakan hukum, sistem politik, hingga perbaikan sistem ekonomi.

Dalam segi perbaikan hukum, revolusi akhlak diperlukan karena saat ini penegakannya dirasa tajam ke bawah dan tumpul ke atas. "Ini menjadi satu kedaruratan," katanya.

"Bagaimana penegakan hukum saat ini tidak beradab, penuh rekayasa, penyiksaan, serta tajam ke pihak kritis tapi tumpul kepada buzzer yang kebal sistem hukum. Ingat Indonesia ini adalah negara hukum bukan kekuasaan," tambahnya.

Dalam sistem politik, revolusi akhlak diperlukan guna mengubah politik belah bambu dan adu domba pada politik persatuan. Revolusi ini, sambung dia, juga perlu untuk hijrah dari sistem liberal ke sistem politik musyawarah mufakat yang sudah dibangun oleh pendiri negara.

Terakhir, revolusi akhlak ini juga harus mengubah sistem ekonomi dari riba ke non-riba. "Dari pembangunan yang mengandalkan utang ke pembangunan yang berfokus ekonomi kerakyatan. Dari ekonomi oligarki, kapitalistik ke ekonomi berkeadilan sosial," pungkasnya.