Bagikan:

JAKARTA - Sekretaris Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg), Setya Utama menyebutkan alasan pemerintah pusat ingin memiliki sertifikat lahan Monumen Nasional (Monas).

Menurut Setya, lahan Monas harus disertifikatkan dan dicatat sebagai milik negara. Kata dia, Monas adalah milik seluruh masyarakat Indonesia. Itu sebabnya Kemensetneg tidak ingin sertifikat Monas dimiliki Pemprov DKI.

"Setneg berpendapat Monas adalah monumen perjuangan bangsa Indonesia, milik seluruh masyarakat Indonesia. Seharusnya, tercatat sebagai barang milik negara, pemerintah pusat," kata Setya kepada wartawan, Jumat, 6 November.

Menurut Setya, kepemilikan Monas oleh pemerintah pusat sejalan dengan Keputusan Presiden Nomor 214 Tahun 1959 yang diteken oleh Presiden Soekarno. Selain itu, ada Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1995 yang menyatakan Menteri Sekretaris Negara sebagai Ketua Komisi Pengarah.

"Kepemilikan lahan Monas atas nama Setneg ini sesuai dengan Keppres 25 Tahun 1995, di mana Mensesneg sebagai Ketua Pengarah dan Gubernur DKI selaku Ketua Badan Pelaksana Pembangunan Kawasan Medan Merdeka, yang Monas termasuk di dalamnya," jelas Setya.

Namun, Setya ingin pihak yang bertanggung jawab untuk mengelola tetap diemban oleh Pemporov DKI. "Soal pengelolaannya, kami setuju untuk tetap dilakukan oleh Pemprov DKI, sesuai berita acara serah terima Mendikbud kepada Gubernur DKI tanggal 25 Agustus tahun 1978," katanya.

Sebagai informasi, Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) dan Pemprov DKI saling mengajukan kepemilikan sertifikasi lahan Monumen Nasional (Monas) kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sebab, saat ini, lahan Monas belum tersertifikasi.

Tarik-menarik ini terungkap dalam rapat koordinasi antara Kemensetneg dan Pemprov DKI secara daring pada Rabu, 4 November lalu. Bahkan, proses ini sampai mendapat pemantauan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kemensetneg ingin agar sertifikat Monas dimiliki pemerintah pusat dan DKI mendapat fasilitas pinjam pakai. Namun, Pemprov DKI menginginkan Kemensetneg menmiliki hak pengelolaan (HPL) dan DKI menguasai hak guna bangunan (HGB).

Jika DKI hanya mendapat hak pinjam pakai, maka DKI harus memperpanjang hak tersebut lima tahun sekali. Sementara, jika Pemprov DKI mendapat HGB, maka mereka bisa memperpanjang haknya selama 30 tahun sekali.