Presiden Putin Sebut Tidak Ada Jalan Tengah antara Negara Koloni dan Negara Merdeka, Sindir AS?
Presiden Rusia Vladimir Putin. (Wikimedia Commons/Пресс-служба Президента России)

Bagikan:

JAKARTA - Presiden Rusia Vladimir Putin menyebut tidak ada jalan tengah antara negara merdeka dan negara koloni, namun tidak menyebutkan secara jelas negara mana yang dimaksud.

"Dunia sedang berubah dan itu berubah dengan cepat. Untuk mengklaim semacam kepemimpinan, khususnya kepemimpinan global, negara mana pun, bangsa apa pun, kelompok etnis apa pun perlu memastikan kedaulatannya," ujar Presiden Putin dalam pertemuan dengan pengusaha muda Rusia, seperti melansir TASS 10 Juni.

"Alasannya adalah, tidak ada jalan tengah antara menjadi negara berdaulat dan koloni, tidak peduli apa yang Anda sebut koloni," tegas Presiden Putin.

"Jika suatu negara atau sekelompok negara tidak dapat membuat keputusan berdaulat, itu berarti sudah menjadi koloni sampai batas tertentu. Koloni secara historis tidak memiliki masa depan dan tidak memiliki peluang untuk bertahan dari pertarungan geopolitik yang sulit," terangnya.

Kendati Presiden Putin tidak menyebutkan negara tertentu, tetapi menekankan bahwa pertarungan geopolitik telah berlangsung selamanya.

Diberitakan sebelumnya, Ketua Duma Rusia menulis di saluran Telegramnya pada awal Juni lalu, kepemimpinan Amerika Serikat ingin menjadikan Ukraina koloninya, memeras semua sumber daya dari negara itu dan menggunakannya untuk melemahkan Rusia.

"AS memiliki waktu delapan tahun untuk membuat Ukraina 'demokratis, mandiri, berdaulat, dan sejahtera', ketika setelah kudeta para penasihat dan instruktur Amerika sebenarnya mengendalikan rezim Kyiv," tulisnya.

"Namun alih-alih mengembangkan negara, Ukraina, yang memiliki potensi besar , dijarah," tandas Volodin.

"Tidak, Washington tidak membutuhkan Ukraina yang merdeka. Kepemimpinan AS ingin menjadikannya koloninya. Untuk memeras semua sumber daya dari negara itu dan menggunakannya secara eksklusif untuk melemahkan Rusia," tegas Volodin.

Menurut Volodin, "seluruh dunia telah melihat apa yang telah dibawa oleh demokrasi (Amerika Serikat) di Libya, Irak, Afghanistan, Suriah dan Yugoslavia."

"Tak satu pun dari negara-negara ini, yang juga ingin dibuat Washington menjadi demokratis dan makmur, menang. Justru sebaliknya. Negara-negara yang pernah berkembang jatuh ke dalam kekacauan dan kehancuran, warganya menghadapi bencana kemanusiaan. Misalnya, di Afghanistan, selama dua puluh tahun. dari tinggal pasukan Amerika lebih dari 250.000 warga sipil tewas, penduduk menjadi miskin," kritik Volodin.