Rusia Sebut Invasinya di Ukraina Operasi Militer Khusus, Bukan Perang: Ini Penjelasan Mantan Presiden Medvedev
Dmitry Medvedev bersama Presiden Rusia Vladimir Putin. (Wikimedia Commons/Kremlin.ru)

Bagikan:

JAKARTA - Rusia menyebut menyebut aksi militernya di Ukraina sebagai operasi militer khusus, sejak invasi dimulai pada 24 Februari lalu, alih-alih menyebutnya sebagai perang.

Tindakan Rusia di Ukraina adalah operasi khusus, bukan perang, karena target pasukannya terbatas pada fasilitas dan objek militer, kata Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia Dmitry Medvedev.

“Itu memang operasi militer khusus. Peristiwa di sana ditegakkan menurut skenario tertentu. Presiden mengatakan kami memiliki dua tujuan yang harus dicapai. Yang pertama adalah untuk membela penduduk republik rakyat Donetsk dan Lugansk, yang banyak di antaranya adalah orang Rusia, warga dan ada sekitar satu juta dari mereka," jelas Medvedev dalam sebuah wawancara dengan televisi Al Jazeera seperti melansir TASS 3 Juni.

'Yang kedua adalah untuk menghancurkan mekanisme militer dan de-Nazify daerah-daerah, atau, dengan kata lain, untuk memastikan bahwa tidak ada neo-Nazi yang mempromosikan agenda anti-Rusia, Russophobic di sana. Itulah sebabnya target operasi ini terbatas," paparnya.

"Operasi tersebut sebagian besar melibatkan penggunaan senjata presisi tinggi. Fasilitas militer dihancurkan. Pasukan Rusia berusaha meminimalkan ancaman terhadap fasilitas sipil. Kami mencoba bertindak dengan cara yang hanya akan mempengaruhi angkatan bersenjata Ukraina. Itulah sebabnya tindakan pasukan kami disebut operasi militer khusus," tambah Medvedev.

Dalam kata-katanya, Amerika Serikat dan sekutu NATO-nya mendeklarasikan "yang disebut perang proksi terhadap Rusia, yang berarti memasok persenjataan dalam jumlah besar ke Ukraina."

“Mereka mencoba untuk mendorong suasana militeristik, histeria militeristik, untuk membuat Ukraina bertarung dengan Rusia 'sampai Ukraina terakhir yang tersisa,' bisa dikatakan. Untuk alasan yang jelas, baik Amerika Serikat maupun Eropa tidak mengalami kerugian dalam situasi ini," kritik mantan Presiden Rusia ini.

"Enam juta orang telah meninggalkan Ukraina, dan negara-negara itu memikul tanggung jawab yang nyata atas apa yang telah terjadi," pungkas Medvedev.