Ingatkan Barat Tidak Menghukum Negara yang Memiliki Kekuatan Nuklir Besar, Mantan Presiden Rusia: Timbulkan Ancaman Bagi Manusia
Dmitry Medvedev. (Wikimedia Commons/Goverment.ru)

Bagikan:

JAKARTA - Mantan Presiden Rusia Dmitry Medvedev mengatakan upaya Barat untuk menghukum kekuatan nuklir seperti Rusia atas perang di Ukraina berisiko membahayakan umat manusia, karena konflik hampir lima bulan membuat kota-kota hancur dan ribuan kehilangan tempat tinggal.

Invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari lalu memicu krisis paling serius dalam hubungan antara Rusia dan Barat sejak Krisis Rudal Kuba 1962, ketika banyak orang khawatir dunia berada di ambang perang nuklir.

Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengatakan, Presiden Rusia Vladimir Putin adalah penjahat perang, memimpin Barat dalam mempersenjatai Ukraina dan menjatuhkan sanksi yang melumpuhkan pada Rusia.

"Gagasan menghukum negara yang memiliki salah satu potensi nuklir terbesar adalah tidak masuk akal. Dan berpotensi menimbulkan ancaman bagi keberadaan umat manusia," ujar Medvedev yang saat ini menjabat sebagai wakil ketua Dewan Keamanan Rusia di Telegram, melansir Reuters 7 Juli.

Diketahui, Rusia dan Amerika Serikat mengendalikan sekitar 90 persen hulu ledak nuklir dunia, dengan masing-masing sekitar 4.000 hulu ledak dalam persediaan militer mereka, menurut Federasi Ilmuwan Amerika.

Medvedev menyebut Amerika Serikat sebagai kerajaan yang telah menumpahkan darah ke seluruh dunia, mengutip pembunuhan penduduk asli Amerika, serangan nuklir AS di Jepang dan sejumlah perang mulai dari Vietnam hingga Afghanistan.

Upaya untuk menggunakan pengadilan atau tribunal untuk menyelidiki tindakan Rusia di Ukraina, kata Medvedev, akan sia-sia dan berisiko menimbulkan kehancuran global. Ukraina dan sekutu Baratnya mengatakan pasukan Rusia telah terlibat dalam kejahatan perang.

Diketahui, Presiden Putin melancarkan invasinya, menyebutnya sebagai "operasi militer khusus", untuk mendemiliterisasi Ukraina, membasmi apa yang dikatakannya sebagai nasionalis berbahaya dan melindungi penutur bahasa Rusia di negara itu.

Sementara, Ukraina dan sekutunya mengatakan Rusia melancarkan perampasan tanah bergaya kekaisaran, memicu konflik terbesar di Eropa sejak Perang Dunia Kedua.

Setelah gagal merebut ibu kota Kyiv lebih awal, Rusia kini melancarkan perang untuk merebut wilayah Donbas Ukraina, yang sebagiannya dikendalikan oleh proksi separatis Rusia.

Pada Hari Minggu, Presiden Putin mengklaim kemenangan terbesarnya ketika pasukan Ukraina menarik diri dari Provinsi Lugansk. Pasukan Rusia kemudian melancarkan serangan untuk merebut provinsi tetangga Donetsk. Donetsk dan Lugansk terdiri dari Donbas.

Rusia mengatakan ingin merebut kendali wilayah timur dan kawasan industri berat atas nama separatis yang didukung Moskow di dua republik rakyat yang memproklamirkan diri.