KSPI Bantah Narasi Pemerintah-DPR yang Bilang Isu UU Cipta Kerja Hoaks
Ilustrasi (Foto: Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal membantah narasi pemerintah dan DPR yang menyebutkan bahwa isu pengurangan hak pekerja dalam Undang-Undang Cipta Kerja adalah hoaks.

Isu ini ramai diperbincangkan di media sosial, pemerintah dan DPR ramai-ramai menyatakan bahwa isu tersebut tidak benar. Narasi isu hoaks itu juga dilontarkan Presiden Joko Widodo dengan pidatonya.

Padahal, kata Said Iqbal, kaum pekerja memang dirugikan dengan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan pada 5 Oktober lalu.

"Jangan dibilang hoaks dulu. Sebab, kami ikut tim perumus Omnibus Law, kemudian membangun komunikasi dengan anggota Badan Legislasi DPR dan pemerintah. Begitu juga dengan isu yang beredar di media sosial juga kami verifikasi. Itulah dasar kami berpendapat. Jadi, bukan hoaks," kata Said Iqbal dalam diskusi webinar, Senin, 12 Oktober.

Said Iqbal menyindir Menko Perekonomian Airlangga Hartato dan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah yang meminta masyarakat membaca secara komprehensif soal draf UU Cipta Kerja. Padahal, selama ini pemerintah tidak transparan dalam mempublikasi draf yang resmi.

"Menteri kan selalu bilang, baca dulu. Lah, apanya yang dibaca? Orang drafnya saja enggak jelas. Dari 905 halaman berubah 1.028 halaman, berubah lagi 1.052, sekarang berubah lagi sampai terakhir 1.035 halaman. Rakyat dibodohi dengan retorika pemerintah meminta rakyat baca. Ini berbahaya sekali," ungkap Said Iqbal.,"

Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal

Sedikitnya, ada empat isu krusial yang merugikan buruh dalam Undang-Undang Cipta Kerja, mulai dari isu mengenai upah minimum, tentang status kontrak karyawan, jaminan kehilangan pekerjaan, dan pengurangan pesangon.

Penghapusan upah minimum

Pemerintah menyebut bahwa UMP, UMK, dan UMSP tidak dihapus. Said Iqbal membenarkan upah minimum memang tidak dihapus. Namun, berdasarkan salinan draf yang dimiliki KSPI, UU Cipta Kerja hanya mengatur soal upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK) bersyarat.

Pada UU Cipta Kerja, tertulis bahwa gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi. Gubernur juga dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu. 

Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang juga mengatur soal Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK). Frasa "bersyarat" inilah yang menjadi dasar penolakan kaum buruh.

"Kalau dibilang masih ada UMK, ya UMK yang bagaimana? Yang ditolak buruh adalah kata-kata 'bersyarat'. Kita tidak mengenal itu. Dengan kata lain, kita meminta dikembalikan pada UU Ketenagakerjaan," jelas Said Iqbal.

 

Karyawan kontrak seumur hidup

Said Iqbal membantah narasi bahwa potensi karyawan dapat dijadikan kontrak seumur hidup adalah tidak benar. Potensi itu sebenarnya tetap ada. 

Pada UU Ketenagakerjaan, batas kontrak kerja diatur dalam beberapa tahun. Jika pekerjaannya dianggap baik, maka pekerja wajib diangkat menjadi karyawan tetap atau  perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Sementara, dalam UU Cipta Kerja, batasan waktu tersebut tidak diatur.

"Yang dimaksud kawan buruh itu ada potensi penghilangan karyawan tetap karena tidak ada batas waktu kontrak. Dampaknya, pengangkatan karyawan tetap tidak ada. Pemerintah jangan menjelaskan setengah-setengah, lah," jelas dia. 

Jaminan kehilangan pekerjaan 

Argumentasi pemerintah, jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) bisa didapat untuk masa kerja 1 tahun. Menurut Said Iqbal, ada kemungkinan hal tersebut bisa disiasati oleh perusahaan.

"Karena enggak ada batas waktu kontrak, perusahaan bisa saja buat kontrak 6 bulan atau 11 bulan, lalu putus putus kontrak, yang penting tidak sampai 1 tahun. Itu kan jadinya perusahaan enggak perlu bayar JKP," ungkapnya.

Pengurangan pesangon 

Pemerintah menyebut pesangon tidak dihapus, hanya dikurangi. Dalam UU Ketenagakerjaan, skema pesangon 32 bulan upah, lalu dalam UU Cipta Kerja diubah menjadi 25 bulan upah, dengan rincian 19 bulan upah dibayar pemberi kerja, dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan oleh pemerintah.

Iqbal memperkirakan BPJS tidak akan sanggup membiayai skema 6 bulan pesangon. Sebab, menurutnya, saat ini BPJS tengah mengalami defisit. Ketika defisit, pemerintah mengambil solusi menaikkan iuran BPJS.

"Ketika iuran BPJS dinaikkan, tentu buruh menolak. Masak, buruh membayar pesangon untuk dirinya? Makanya, kembalikan skema pesangon seperti dalam UU Ketenagakerjaan, jangan dihapus," imbuhnya.