JAKARTA - Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal merasa dikhianati dengan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja meskipun dirinya masuk dalam tim perumus Omnibus Law.
Sebab, sejumlah pasal yang dianggap merugikan kaum pekerja masih tertuang dalam Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja. Beberapa pasal yang mengubah ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan belum dikembalikan seperti aturan lama.
"Kalau pun kami memasuk tim perumus, tapi kami merasa dikhianati. Beberapa pasal yang katanya kembali pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tidak berhasil dimasukkan, bahkan dibiarkan sama dengan drafnya pemerintah," kata Said Iqbal dalam diskusi virtual, Senin, 12 Oktober.
Menurutnya, ada empat poin aturan dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang tidak sesuai kesepakatan tim perumus. Di antaranya adalah isu mengenai upah minimum, tentang status kontrak karyawan, jaminan kehilangan pekerjaan, dan pengurangan pesangon.
BACA JUGA:
Said Iqbal juga kecewa dengan narasi pemerintah yang menyebut bahwa isu kerugian hak pekerja dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang beredar di masyarakat adalah hoaks atau disinformasi.
Padahal, menurut dia, isu tersebut benar adanya dan telah diverifikasi oleh kaum buruh. "Empat contoh isu itu bukan hoaks. Itu sumbernya tervalidasi dari kesepakatan panitia kerja Badan Legislasi DPR dan pemerintah, lalu berita yang kita verifikasi langsung," jelas Said Iqbal.
Oleh karena itu, sejumlah serikat buruh yang tergabung dalam Gerakan Kesejahteraan Nasional (Gekanas) seperti KSPI, KSPSI, FSP LEM SPSI, dan beberapa serikat lainnya akan kembali menggelar aksi demo penolakan Undang-Undang Cipta Kerja.
"Serikat buruh 32 konfederasi ini akan melanjutkan aksi kembali yang terukur dan terarah sesuai konstitusi. Dengan ini, saya menyatakan aksi buruh tidak boleh ada kekerasan, tidak boleh menimbulkan kerusuhan," ungkap Said Iqbal.
Selain aksi, serikat buruh juga sedang mempertimbangkan opsi penolakan Undang-Undang Cipta Kerja lewat jalur konstitusi dengan pengajuan judicial review (JR) di Mahkamah Konstitusi.