Masih Demo Tolak UU Cipta Kerja, Buruh: Kami Tak Akan Pernah Diam
Aksi unjuk rasa buruh menolak UU Cipta Kerja di Jakarta (Foto: Diah/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Sejumlah buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) kembali menggelar aksi penolakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.

Aksi dimulai sekitar pukul 10.00 WIB. Tampak buruh membawa peti mati berwarna hitam, serta beberapa di antaranya mengecat tubuhnya.

Dalam aksi unjuk rasa yang digelar di Silang Monas Barat Daya, Jakarta Pusat, tak banyak buruh yang turut aksi. Sekjen FSPMI, Riden Hayam Aziz menyebut pihaknya sengaja menurunkan massa dalam jumlah yang tidak sebanyak biasanya.

Sebab, mereka harus mematuhi protokol kesehatan di masa pandemi COVID-19. Kemudian, buruh lain juga mengikuti aksi penolakan Omnibue Law secara virtual di media sosial.

"Hari ini kami dari KSPI melakukan aksi virtual dan lapangan dalam rangka terus kami menyuarakan kepada pemerintah dan DPR RI terkait dengan disahkannya UU Omnibus Law," kata Riden di lokasi, Selasa, 29 Desember.

Kata Riden, tuntutan kepada pemerintah dan DPR untuk mencabut Omnibus Law masih dilakukan dengan dua cara, yakni kelanjutan aksi dan pengajuan uji materi atau judicial review (JR) di Mahkamah Konstitusi.

"Sikap kami tak akan pernah diam. Tak akan pernah berhenti sepanjang Omnibus Law ini belum dibatalkan. Kami mohon kepada Presiden Jokowi tolong cabut UU Cipta Kerja demi kemaslahatan pekerja," tutur Riden.

Sebagai informasi, ada empat isu krusial yang merugikan buruh dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Presiden KSPI Said Iqbal menyebut isu tersebut mulai upah minimum, tentang status kontrak karyawan, jaminan kehilangan pekerjaan, dan pengurangan pesangon. 

Penghapusan upah minimum

Pemerintah menyebut bahwa UMP, UMK, dan UMSP tidak dihapus. Said Iqbal membenarkan upah minimum memang tidak dihapus. Namun, berdasarkan salinan draf yang dimiliki KSPI, UU Cipta Kerja hanya mengatur soal upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK) bersyarat.

Pada UU Cipta Kerja, tertulis bahwa gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi. Gubernur juga dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu. 

Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang juga mengatur soal Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK). Frasa "bersyarat" inilah yang menjadi dasar penolakan kaum buruh.

"Kalau dibilang masih ada UMK, ya UMK yang bagaimana? Yang ditolak buruh adalah kata-kata 'bersyarat'. Kita tidak mengenal itu. Dengan kata lain, kita meminta dikembalikan pada UU Ketenagakerjaan," jelas Said Iqbal, beberapa waktu lalu.

Karyawan kontrak seumur hidup

Said Iqbal membantah narasi bahwa potensi karyawan dapat dijadikan kontrak seumur hidup adalah tidak benar. Potensi itu sebenarnya tetap ada. 

Pada UU Ketenagakerjaan, batas kontrak kerja diatur dalam beberapa tahun. Jika pekerjaannya dianggap baik, maka pekerja wajib diangkat menjadi karyawan tetap atau  perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Sementara, dalam UU Cipta Kerja, batasan waktu tersebut tidak diatur.

"Yang dimaksud kawan buruh itu ada potensi penghilangan karyawan tetap karena tidak ada batas waktu kontrak. Dampaknya, pengangkatan karyawan tetap tidak ada. Pemerintah jangan menjelaskan setengah-setengah, lah," jelas dia. 

Jaminan kehilangan pekerjaan 

Argumentasi pemerintah, jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) bisa didapat untuk masa kerja 1 tahun. Menurut Said Iqbal, ada kemungkinan hal tersebut bisa disiasati oleh perusahaan.

"Karena enggak ada batas waktu kontrak, perusahaan bisa saja buat kontrak 6 bulan atau 11 bulan, lalu putus putus kontrak, yang penting tidak sampai 1 tahun. Itu kan jadinya perusahaan enggak perlu bayar JKP," ungkapnya.

Pengurangan pesangon 

Pemerintah menyebut pesangon tidak dihapus, hanya dikurangi. Dalam UU Ketenagakerjaan, skema pesangon 32 bulan upah, lalu dalam UU Cipta Kerja diubah menjadi 25 bulan upah, dengan rincian 19 bulan upah dibayar pemberi kerja, dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan oleh pemerintah.

Iqbal memperkirakan BPJS tidak akan sanggup membiayai skema 6 bulan pesangon. Sebab, menurutnya, saat ini BPJS tengah mengalami defisit. Ketika defisit, pemerintah mengambil solusi menaikkan iuran BPJS.

"Ketika iuran BPJS dinaikkan, tentu buruh menolak. Masak, buruh membayar pesangon untuk dirinya? Makanya, kembalikan skema pesangon seperti dalam UU Ketenagakerjaan, jangan dihapus," imbuhnya.