Bagikan:

JAKARTA - Wacana penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 menjadi pembicaraan hangat belakangan ini. Ada pro dan kontra.

Sejumlah pihak menentang wacana ini karena dinilai bakal menciderai demokrasi di Indonesia. Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menegaskan, upaya menunda Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 merupakan pelanggaran terhadap asas kedaulatan rakyat.

Titi mengatakan, kedaulatan rakyat merupakan salah satu asas yang menjadi dasar terbentuknya konstitusi. Jadi menurutnya, pelanggaran terhadap asas itu turut melanggar konstitusi negara UUD 1945.

"Asas kedaulatan rakyat selama ini kita praktikkan melalui penyelenggaraan pemilu yang bebas dan adil," kata Titi saat berbicara pada acara diskusi virtual yang diikuti di Jakarta, sebagaimana dilansir Antara, Minggu, 6 Maret.

Ia juga mempertanyakan alasan penundaan Pemilu 2024, yakni untuk stabilitas ekonomi. Menurutnya,  itu alasan yang tidak lazim, tidak logis, dan tidak ada presedennya serta merupakan upaya melemahkan asas kedaulatan rakyat.

"(Pemilu yang tertunda) membuat daulat rakyat tidak bisa teraplikasikan," terang Titi.

Ia menyampaikan, upaya penundaan Pemilu 2024 juga melanggar kewajiban menyelenggarakan pemilihan umum secara berkala atau periodik, sebagaimana telah diperintahkan oleh aturan konstitusi.

“Di Pasal 22E ayat 1 telah disebutkan pemilihan umum dilaksanakan secara luber jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil) setiap 5 tahun sekali. Kewajiban menyelenggarakan pemilu secara berkala jelas-jelas dilanggar oleh narasi penundaan pemilu ini,” kata dia.

Terakhir, Titi menyampaikan upaya menunda Pemilu 2024 merupakan alasan menerabas atau melanggar pembatasan masa jabatan yang telah diatur dalam UUD 1945.

“Konstitusi memang bisa diganti, bisa diamendemen. Tetapi, semangat konstitusionalisme berdemokrasi merupakan komitmen bernegara kita,” terang Titi.

Ia mengingatkan para elite politik bahwa konstitusi negara UUD 1945 bukan sekadar pasal-pasal yang dapat diganti sesuai kebutuhan. Menurutnya, pasal-pasal itu merupakan komitmen bersama untuk membatasi kekuasaan pemerintah.

Kekuasaan pemerintah, ia menambahkan, hanya dapat dibatasi melalui penyelenggaraan pemilihan umum secara berkala/periodik serta pembatasan masa jabatan presiden.

Dalam acara diskusi yang sama, Titi menyampaikan beberapa elite politik telah berupaya memunculkan wacana tunda pemilu sejak pertengahan 2021. Namun, upaya itu kemudian redup karena wacana tersebut tidak terlalu ditanggapi publik.