Keras! Pakar: Usul Penundaan Pemilu Khianati Konstitusi, Demokrasi Menjadi Stagnan
Pakar Hukum Tata Negara dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSKH), Bivitri Susanti (Foto tangapan layar YouTube Survei KedaiKOPI

Bagikan:

JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSKH), Bivitri Susanti memandang usulan agar pemilu 2024 ditunda yang digulirkan para elite politik mengkhianati konstitusi, dalam hal ini Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

"Ini adalah pengkhianatan konsititusi sebenarnya yang dilakukan. Kalau teman-teman PSKH bilangnya pembangkangan konstitusi. Saya kira saya pakai kata yang lebih keras, pengkhianatan sebenarnya," kata Bivitri dalam diskusi virtual, Minggu, 6 Maret.

Menurut Bivitri, konstitusi bukan sekadar teks yang ditetapkan dan bisa diubah muatannya. Bivitri menegaskan bahwa konstusi adalah pembatasan kekuasaan penyelenggara negara.

Ia melanjutkan, penyelenggaraan pemilu setiap lima tahun sekali merupakan prasyarat demokrasi. Sebab, demokrasi membutuhkan regenerasi kepemimpinan. Hal ini justru bertolak belakang dengan isu penundaan pemilu disertai dengan perpanjangan masa jabatan presiden.

"Bayangkan kalau ini tidak di-refresh. Maka, seluruh aturan main, politik hukum, dan politik ekonomi dan sebagainya tidak akan ada perubahan. Demorkasi akan menjadi stagnan dan ini tidak diinginkan dalam demorkasi yang sehat," ucap Bivitri.

Bivitri pun mengulas sejarah buruk penundaan pemilu yang pernah dilakukan saat kepemimpinan Presiden Soekarno. Setelah pemilu pada tahun 1955, Soekarno memutuskan akan memundurkan pemilu.

Sejumlah alasan yang digunakan kala itu adalah ketidakstabilan politik, hingga besarnya biaya. Kepemimpinan berganti, penundaan pemilu kembali terjadi saat zaman Soeharto.

Dampaknya, kata Bivitri, kekuasaan pemerintah kala itu menjadi berlebihan hingga menimbulkan kerusuhan yang puncaknya terjadi pada tahun 1998.

"Sejarah di Indonesia juga sudah menunjukan bahwa penundaan pemilu itu mengandung bom waktu tentang kekuasaan yang terlalu berlebihan sehingga akhirnya pemilu tidak pernah dilaksanakan, pemimpinnya jatuh, negaranya kacau. Itu perlu dicatat sebagai catatan sejarah, jangan sampaai terulang lagi," jelas Bivitri.

"Orang-orang yang sudah membincangkan dan mendukung perubahan konstitusi harusnya malu mengaku sebagai negarawan.Ketua-ketua partai politik malu harusnya karena mereka sudah mengkhianati gagasan konstitusionalime," tambahnya.