JAKARTA - Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menanggapi usulan penundaan Pemilu 2024 yang digulirkan elite partai politik beberapa hari lalu terkesan antiklimaks.
Dulu, waktu isu penundaan pemilu pertama digulirkan pada akhir 2019, Jokowi tegas menyebut itu seakan menampar wajahnya. Lalu saat isu itu bergulir kembali sekarang, Jokowi hanya menyebut dirinya tunduk, taat, dan patuh terhadap konstitusi.
Bahkan, Jokowi menyatakan bahwa usulan penundaan Pemilu 2024 serta perpanjangan masa jabatan presiden tidak bisa dilarang karena hal itu merupakan bagian dari demokrasi.
Bila Jokowi ingin menunjukkan dirinya konsisten terhadap sikap untuk tak ingin pemilu ditunda, Jokowi harus mengumumkan tanggal penyelenggaraan Pemilu 2024 yang sudah ditetapkan pada 14 Februari 2024.
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio mengungkapkan, pengumuman tanggal pemilu perlu langsung diumumkan oleh Jokowi agar kegaduhan mengenai penundaan pemilu bisa diredam.
"Pak Jokowi harusnya ngomong saja bahwa pemilu akan dilaksanakan 14 Februari 2024. Itu minimal akan langsung meredakan usaha-usaha ini," kata Hendri pada Minggu, 6 Maret.
Sebab, menurut Hendri, pernyataan Jokowi saat ini malah melembek dibanding pernyataannya sebelumnya.
"Kemarin enggak ada tuh, bilang tentang 'menampar wajah saya'. Kalau soal taat konstitusi, selesai juga urusan konstitusi tuh kalau semuanya diamandemen. Ketegasan Presiden belum terlihat sampai saat ini," ucap Hendri.
Penundaan pemilu khianati konstitusi
Pakar Hukum Tata Negara dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSKH), Bivitri Susanti memandang usulan agar pemilu 2024 ditunda yang digulirkan para elite politik mengkhianati konstitusi, dalam hal ini Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
"Ini adalah pengkhianatan konsititusi sebenarnya yang dilakukan. Kalau teman-teman PSKH bilangnya pembangkangan konstitusi. Saya kira saya pakai kata yang lebih keras, pengkhianatan sebenarnya," ujar Bivitri.
Menurut Bivitri, konstitusi bukan sekadar teks yang ditetapkan dan bisa diubah muatannya. Bivitri menegaskan bahwa konstusi adalah pembatasan kekuasaan penyelenggara negara.
Ia melanjutkan, penyelenggaraan pemilu setiap lima tahun sekali merupakan prasyarat demokrasi. Sebab, demokrasi membutuhkan regenerasi kepemimpinan. Hal ini justru bertolak belakang dengan isu penundaan pemilu disertai dengan perpanjangan masa jabatan presiden.
"Bayangkan kalau ini tidak di-refresh. Maka, seluruh aturan main, politik hukum, dan politik ekonomi dan sebagainya tidak akan ada perubahan. Demokrasi akan menjadi stagnan dan ini tidak diinginkan dalam demorkasi yang sehat," ucap Bivitri.
"Maka, orang-orang yang sudah membincangkan dan mendukung perubahan konstitusi harusnya malu mengaku sebagai negarawan. Ketua-ketua partai politik malu harusnya karena mereka sudah mengkhianati gagasan konstitusionalisme," tambahnya.