Bagikan:

JAKARTA - Wakil Sekjen DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luqman Hakim, menilai potensi adanya 'matahari kembar' dalam penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024 terlalu mengada-ada.

Hal ini muncul seiring tarik ulur polemik soal hari pencoblosan Pileg dan Pilpres 2024, di mana pemerintah mengusulkan 15 Mei dan KPU merencanakan 21 Februari.

"Anggapan adanya matahari kembar akibat adanya capres-cawapres terpilih dalam rentang waktu cukup lama, apabila coblosan Pemilu 21 Februari, menurut saya, ini alasan yang mengada-ada," ujar Luqman Hakim, Minggu, 10 Oktober.

Wakil Ketua Komisi II DPR itu lantas mencontohkan putaran terakhir Pilkada 2020. Menurutnya, banyak daerah yang sudah memiliki kepala daerah terpilih tetapi pelantikannya menunggu habis masa periode kepala daerah eksisting. Kala itu sama sekali tidak ada gangguan keamanan yang ditimbulkan adanya calon kepala daerah terpilih.

"Apabila pilpres hanya satu putaran, maka akhir Maret 2024 sudah akan ditetapkan Capres-Cawapres terpilih jika coblosannya 21 Februari 2024," jelas Luqman.

Dengan komunikasi yang baik, kata Luqman, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dapat memfasilitasi proses transisi pemerintahan kepada calon presiden terpilih secara sempurna.

Selain itu, capres-cawapres terpilih memiliki kesempatan untuk memasukkan sebagian visi-misi dan janji-janji kampanye pemilu ke dalam rumusan APBN 2025 yang proses penyusunannya dilakukan di awal Tahun 2024.

"Capres-cawapres terpilih hasil Pemilu 2024, setelah dilantik tanggal 20 Oktober 2024, akan langsung mengelola APBN 2025 yang sebagian sudah berisi visi misi dan janji kampanye pemilu. Model transisi seperti itu akan mempercepat kembalinya kohesi masyarakat yang sempat mengalami dinamisasi akibat pemilu,” kata Luqman.

Luqman menambahkan, dalam perspektif demokrasi, adanya capres-cawapres terpilih bersamaan waktunya dengan Presiden yang sedang memimpin bukanlah hal negatif. Justru, kata dia, keberadaan mereka menjadi prasyarat penting terjadinya proses transisi pemerintahan secara damai dan bermartabat.

"Konsep matahari kembar yang menimbulkan dampak negatif hanya dikenal dalam budaya kekuasaan negara Monarki dan Kekaisaran. Negara kita tidak menganut sistem monarki maupun kekaisaran. Indonesia adalah negara demokrasi," pungkas Luqman.

Sebelumnya, anggota Komisi II DPR Fraksi PAN, Guspardi Gaus, mendukung usulan pemerintah terkait jadwal pemilu serentak 15 Mei 2024. Dia menilai, pemerintah mengusulkan pemilu digelar pada 15 Mei 2024 karena khawatir adanya gejolak politik apabila pilpres digelar di awal tahun, yaitu 21 Februari 2024 sesuai usulan KPU.

"Banyak hal yang disampaikan pemerintah, pertama adalah persoalan kalau seandainya di tanggal 21 Februari dilakukan pileg dan pilpres, utamanya pilpres, itu kan pasti akan menimbulkan gejolak politik, tidak terjadinya harmonisasi terhadap pemerintahan pusat," kata Guspardi, Sabtu, 9 Oktober.

Menurut Guspardi, jika pilpres dilaksanakan pada 21 Februari, hasil pilpresnya langsung diketahui masyarakat. Sementara itu, Presiden Jokowi masih menjabat hingga Oktober 2024, sedangkan apabila presiden terpilih tidak didukung oleh pemerintah, maka diperkirakan akan menimbulkan kegaduhan.

"Karena apa? Karena kalau lah seandainya ketika itu pemilihan presiden tidak berlanjut pada tahap berikutnya, tentu pada saat itu sudah diketahui siapa yang akan menjadi calon presiden, kalaulah itu terjadi, bagaimanapun, kita tidak bisa menafikan tentu ada dua matahari ketika itu, ada yang namanya presiden incumbent, yang namanya Pak Jokowi, yang beliau sudah menyatakan tidak akan maju lagi," kata Guspardi.

"Kemudian ada lagi hasil dari pada Pilpres 21 Februari, apalagi kalau seandainya orang yang maju itu tidak didukung oleh pihak pemerintah, tentu akan menimbulkan dinamika kegaduhan dan sebagaimana. Ini adalah sesuatu yang harus dicatat-diketahui oleh masyarakat," ungkapnya.