KPK Tak Bisa Sembarangan Ambil Alih Dugaan TPPU Setya Novanto dari Bareskrim Polri
Gedung Merah Putih (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak bisa sembarangan mengambil kasus yang ditangani oleh aparat penegak hukum lain, termasuk Polri.

Hal ini disampaikan Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri menanggapi permintaan Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) untuk mengambil alih pengusutan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan eks Ketua DPR RI Setya Novanto. Kasus tersebut saat ini ditangani Bareskrim Mabes Polri.

"Kami sampaikan bahwa pengambil alihan suatu kasus oleh KPK dari aparat penegak hukum lain tidak bisa serta merta begitu saja dilakukan," kata Ali kepada wartawan yang dikutip Selasa, 15 Februari.

Ali mengatakan, ada mekanisme yang harus diikuti KPK. Sehingga, desakan semacam ini tak bisa dilakukan dengan sembarangan.

"Kami memastikan dalam bekerja selalu patuh pada aturan hukum yang berlaku," tegasnya.

"Tentu ada syarat, mekanisme proses dan aturan main yang telah ditegaskan dalam UU diantaranya disebutkan disana ada bbrp syarat sebagaimana ketentuan di dalam Pasal 10A UU KPK," imbuh Ali.

Dalam pasal itu, disebutkan KPK memang berhak untuk mengambil alih penyidikan atau penuntutan pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Polri maupun Kejaksaan Agung.

Hanya saja, pada pasal itu juga dijelaskan ada enam alasan tindakan ini dilakukan yaitu laporan masyarakat mengenai Tindak Pidana Korupsi tidak ditindaklanjuti; proses penanganan Tindak Pidana Korupsi tanpa ada penyelesaian atau tertunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; dan penanganan Tindak Pidana Korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku Tindak Pidana Korupsi yang sesungguhnya.

Selanjutnya, pengambil alihan juga baru bisa dilakukan jika penanganan Tindak Pidana Korupsi mengandung unsur Tindak Pidana Korupsi; hambatan penanganan Tindak Pidana Korupsi karena campur tangan dari pemegang kekuasaan eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Adapun soal permintaan mengambil alih dugaan TPPU yang dilakukan Setya Novanto ini disampaikan oleh Koordinator MAKI Boyamin Saiman. Dia mengatakan, penyidikan ini mangkrak di Bareskrim Polri.

"Karena di Bareskrim tidak jalan lagi kasusnya, ini harus diambil alih KPK karena perkara pokok korupsi e-KTP itu ada di KPK," kata Boyamin.

Selain itu, KPK juga didesak untuk menambah tersangka baru dalam dugaan TPPU itu. Salah satu nama pihak yang dapat ditetapkan sebagai tersangka adalah pengusaha Made Oka Masagung.

Nama Made Oka muncul karena dia diduga membantu eks politikus Partai Golkar itu menyembunyikan uang hasil korupsi e-KTP dengan modus transaksi investasi di Singapura.

Sebagai informasi, Setya Novanto divonis hukuman penjara selama 15 tahun dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan. Selain itu, dia diwajibkan membayar uang pengganti sebesar 7,3 juta dolar Amerika Serikat dikurangi Rp5 miliar yang telah dititipkan pada penyidik.

Vonis terhadap Setnov ini dijatuhkan karena dia terbukti menerima uang sebesar 7,3 juta dolar Amerika Serikat dari pengadaan proyek e-KTP yang berujung merugikan negara hingga Rp2,3 triliun. Selain itu, dia disebut mempengaruhi proses penganggaran, pengadaan barang dan jasa, serta proses lelang proyek.