JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan berkoordinasi dengan pihak Bareskrim Polri melalui Kedeputian Bidang Koordinasi dan Supervisi.
Koordinasi ini dilakukan untuk mempertanyakan alasan kepolisian tiba-tiba menangani dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan mantan Ketua DPR Setya Novanto.
"Kira-kira di sana itu predicate crimenya itu apa, kalau predicate crimenya korupsi kan KPK yang menangani," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam tayangan YouTube KPK RI, Jumat, 11 Maret.
Alexander mengaku KPK belum tahu apa predicate crime atau tindak pidana asal yang menyebabkan pihak Direktorat Tindak Pidana Ekonomi menangani dugaan pencucian uang Novanto. Sehingga, koordinasi antar dua lembaga ini perlu dilakukan.
"Kita belum tahu apa predicate crime SN yang ditangani oleh Direktorat Pidana Ekonomi tertentu itu sehingga mereka menaikkan atau melakukan penyidikan TPPU," ujarnya.
"Tetapi kalau (terkait, red) tindak pidana korupsi, tentu nanti kami akan tindak lanjuti karena harusnya yang melakukan penyidikan TPPU itu adalah penyidik yang melakukan atau menangani perkara korupsinya. Dan itu kami sudah minta untuk dilakukan koordinasi dengan Bareskrim," imbuh Alexander.
BACA JUGA:
Sebelumnya, Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman meminta KPK mengambil alih penyidikan dugaan TPPU yang dilakukan Setya Novanto. Dia mengatakan, penyidikan ini mangkrak di Bareskrim Polri.
"Karena di Bareskrim tidak jalan lagi kasusnya, ini harus diambil alih KPK karena perkara pokok korupsi e-KTP itu ada di KPK," kata Boyamin.
Selain itu, KPK juga didesak untuk menambah tersangka baru dalam dugaan TPPU itu. Salah satu nama pihak yang dapat ditetapkan sebagai tersangka adalah pengusaha Made Oka Masagung.
Nama Made Oka muncul karena dia diduga membantu eks politikus Partai Golkar itu menyembunyikan uang hasil korupsi e-KTP dengan modus transaksi investasi di Singapura.
Sebagai informasi, Setya Novanto divonis hukuman penjara selama 15 tahun dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan. Selain itu, dia diwajibkan membayar uang pengganti sebesar 7,3 juta dolar Amerika Serikat dikurangi Rp5 miliar yang telah dititipkan pada penyidik.
Vonis terhadap Setnov ini dijatuhkan karena dia terbukti menerima uang sebesar 7,3 juta dolar Amerika Serikat dari pengadaan proyek e-KTP yang berujung merugikan negara hingga Rp2,3 triliun. Selain itu, dia disebut mempengaruhi proses penganggaran, pengadaan barang dan jasa, serta proses lelang proyek.