Bagikan:

JAKARTA - Sebuah komite awam yang menyelidiki pelecehan seksual anak di Gereja Katolik Portugal mengatakan pada Hari Kamis, selama bulan pertama bekerja mereka menerima aduan dari 214 orang.

Aduan tersebut berasal dari mereka yang lahir antara tahun 1933 dan 2006, menceritakan tentang siksaan psikologis yang dirahasiakan selama beberapa dekade, kata Komite Independen untuk Studi Pelecehan Anak di Gereja.

"Penderitaan ini dikaitkan dengan perasaan malu, takut, bersalah dan pengucilan diri, memperkuat gagasan kehidupan di mana sensasi 'berdiri di pinggir' selalu hadir," kata panitia dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Associated Presss 11 Februari.

Pejabat Gereja Portugal mengatakan dua tahun lalu, pihak berwenang telah menyelidiki hanya sekitar selusin tuduhan pelecehan seksual yang melibatkan pendeta Portugal sejak 2001. Lebih dari setengah dari kasus tersebut dibatalkan, karena penyelidik gereja memutuskan tidak ada cukup bukti untuk mengejar mereka.

Komite beranggotakan enam orang, yang mencakup psikiater, mantan hakim Mahkamah Agung dan seorang pekerja sosial, menjanjikan anonimitas bagi siapa pun yang maju. Mereka secara resmi mulai bekerja pada 1 Januari.

Komite tersebut, yang akan melapor kepada Konferensi Waligereja Portugal pada akhir tahun, mengatakan tugasnya adalah mempelajari apa yang terjadi pada pelecehan seksual terhadap anak, bukan memulai penyelidikan formal.

Banyak tuduhan menunjukkan kemungkinan kuat, anak-anak lain mungkin telah menjadi korban pelaku yang sama, kata pernyataan itu.

Pernyataan saksi diterima secara online, dengan korban mengisi formulir di situs web komite, atau melalui telepon atau wawancara tatap muka.

Komite mengatakan, aduan datang dari lintas negara, termasuk warga Portugal yang kini tinggal di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Prancis, Luksemburg dan Swiss, di mana terdapat komunitas imigran Portugis yang besar.

Karena sebagian besar pernyataan diterima secara online, komite meningkatkan upayanya untuk menjangkau orang-orang di daerah kurang berkembang di negara ini yang mungkin tidak terbiasa menggunakan teknologi.

Termasuk menggunakan lembaga bantuan amal, asosiasi sipil dan dewan paroki untuk membantu menyebarkan berita.