JAKARTA - Upaya DPR melalui Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang mengusut kasus dugaan pelecehan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) anggotanya memang sudah sewajarnya dilakukan untuk menunjukkan keberpihakan pada kaum perempuan.
“Apa yang dilakukan oleh MKD sudah tepat. Siapapun oknum yang nantinya terbukti melakukan kekerasan seksual, dalam bentuk apapun, termasuk kekerasan seksual dalam bentuk verbal harus ditindaklanjuti sesuai prosedur dan hukum yang berlaku,” kata Aktivis Perempuan dari Sarinah Institute, Luky Sandra Amalia dalam keterangannya, Rabu 21 Juni.
Seperti diketahui, MKD DPR tengah mendalami aduan dugaan pelecehan seksual yang dilakukan salah satu anggota dewan, yakni Sugeng Suparwoto. Ia dilaporkan ke MKD oleh seorang perempuan berinisial AAFS karena dianggap telah melakukan pelecehan seksual verbal saat pelapor masih menjadi anggota DPR.
MKD sedang melakukan pendalaman terkait hasil dari pemeriksaan yang sudah dilakukan terhadap Sugeng sebagai terlapor dan AAFS sebagai pelapor. Selain mengadu ke MKD, AAFS juga melaporkan Sugeng ke pihak kepolisian.
“Beruntung kita sudah punya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sehingga dasar hukumnya menjadi lebih kuat. Aparat penegak hukum bisa bekerja sesuai porsinya dan MKD bisa menindaklanjuti aduan sesuai prosedur standard yang dimiliki oleh DPR,” tutur Amalia.
Peneliti di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu berharap MKD segera mengambil keputusan terkait kasus dugaan pelecehan seksual tersebut. Apalagi, kata Amalia, publik juga belum lama dikejutkan oleh kasus KDRT yang dilakukan salah satu Anggota DPR kepada istrinya.
“Setelah sebelumnya kita mendengar kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang juga dilakukan oleh seorang oknum anggota Dewan, sekarang kita kembali mendengar lagi kasus kekerasan seksual yang dilakukan seorang oknum yang lain di DPR,” ungkap Mahasiswa PhD di University of Sydney itu.
“Artinya, kekerasan seksual memang bisa terjadi dimana saja dan dialami oleh siapa saja, termasuk di lembaga perwakilan rakyat yang terhormat,” lanjut Amalia.
Sebelum mengusut kasus pelecehan seksual verbal, MKD DPR diketahui menangani laporan dugaan KDRT yang dilakukan oleh Bukhori Yusuf. Namun MKD tidak meneruskan proses laporan tersebut karena Bukhori Yusuf mengundurkan diri dari partainya sehingga posisinya di DPR digantikan oleh kader lain, yang artinya ia tak lagi menjadi anggota dewan.
Langkah MKD DPR yang memproses aduan-aduan semacam itu pun mendapat banyak dukungan. Mengingat, menurut Amalia, MKD memiliki peran untuk mengembalikan kehormatan DPR yang tercoreng akibat adanya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.
“Tindaklanjut DPR yang responsif, selain menunjukkan DPR memiliki keberpihakan terhadap perempuan sebagai korban kekerasan seksual, hal ini juga menunjukkan bahwa DPR bersungguh-sungguh menegakkan UU yang telah diproduksinya sendiri,” ujarnya.
“Hal ini menjadi contoh baik bagi masyarakat umum bahwa negara hadir melindungi korban kekerasan seksual dan menindaklanjuti laporan saksi korban, siapapun oknum pelakunya,” tambah Amalia.
BACA JUGA:
Masyarakat pun diminta mengawal kasus dugaan pelecehan seksual yang tengah ditindaklanjuti oleh MKD DPR ini. Amalia menyebut, upaya-upaya yang dilakukan MKD akan berdampak terhadap kepercayaan publik terhadap DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.
“Mari kita dukung langkah baik MKD untuk menegakkan lingkungan kerja lembaga perwakilan rakyat yang terhormat bebas dari segala bentuk kekerasan,” tegas Penulis buku 'Evaluasi Pemilihan Presiden Langsung di Indonesia' tersebut.
Amalia mengatakan, lingkungan kerja sudah seharusnya menjadi ruang aman bagi semua yang ada di dalamnya, termasuk pekerja perempuan. Ia juga menilai kehadiran UU TPKS sebagai payung hukum ketika terjadi kasus kekerasan seksual, termasuk di lingkungan kerja, semestinya bisa semakin diperkuat dengan kehadiran UU Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA).
Saat ini, RUU KIA yang merupakan inisiatif DPR masih dalam proses pembahasan. Banyak pihak yang mendukung agar RUU KIA segera disahkan DPR karena akan menambah perlindungan bagi ibu maupun perempuan, serta anak.
“Undang-undang ini menjamin keamanan dan kesejahteraan bagi perempuan yang bekerja dan anak-anak yang sedang dalam asuhannya,” tutup Amalia.