Presiden Putin Terima Undangan Secara Terbuka, China Tidak Khawatir Efek Domino Boikot Olimpiade Musim Dingin
Ilustrasi Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022. (Wikimedia Commons/N509FZ)

Bagikan:

JAKARTA - China tidak khawatir tentang 'efek domino' dari boikot diplomatik Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022, setelah Australia, Inggris dan Kanada bergabung dengan Amerika Serikat dalam memutuskan untuk tidak mengirim pejabat ke Olimpiade.

Amerika Serikat adalah yang pertama mengumumkan boikot, dengan mengatakan pada Hari Senin pejabat pemerintahnya tidak akan menghadiri Olimpiade yang digelar pada 4-20 Februari tahu depan, karena 'kekejaman' hak asasi manusia Chian di wilayah barat Xinjiang.

"Saya tidak melihat perlu khawatir tentang efek domino," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Wang Wenbin pada konferensi pers harian ketika ditanya tentang kemungkinan lebih banyak boikot, mengutip Reuters 10 Desember.

"Sebaliknya, sebagian besar negara di dunia telah menyatakan dukungannya untuk Olimpiade Musim Dingin Beijing," ungkapnya.

Boikot diplomatik oleh Amerika Serikat dan sekutunya menyusul memburuknya hubungan antara Beijing dan Washington, yang dimulai di bawah mantan Presiden AS Donald Trump.

sementara, Pemerintahan Presiden AS Joe Biden telah mempertahankan tekanan pada China atas berbagai masalah, termasuk hak asasi manusia dan klaim maritim China di Laut China Selatan.

Wang menunjukkan, Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2 Desember mengadopsi resolusi, yang disponsori bersama oleh lebih dari 170 dari 193 negara anggota, untuk 'Gencatan Senjata Olimpiade', menyerukan negara-negara untuk bangkit di atas politik dan bersatu dalam olahraga selama Olimpiade Beijing.

"Cukup banyak pemimpin asing dan anggota keluarga kerajaan telah mendaftar untuk hadir," terang Wang.

Sejauh ini, Presiden Rusia Vladimir Putin adalah satu-satunya pemimpin negara besar yang secara terbuka menerima undangan untuk menghadiri pesta olahraga musim dingin tersebut.

Sebelumnya, Wang menegaskan Amerika Serikat dan sekutunya akan "membayar harga untuk tindakan keliru mereka" dan mereka telah "menggunakan platform Olimpiade untuk manipulasi politik".

China mengatakan pada Hari Selasa akan "dengan tegas mengambil tindakan balasan" terhadap Amerika Serikat atas boikotnya, tetapi belum menentukan apa yang akan mereka lakukan.

Menariknya, Wang juga mengatakan China tidak memiliki rencana untuk mengundang pejabat dari Inggris dan Kanada ke Olimpiade, dengan ketidakhadiran mereka tidak akan berdampak pada keberhasilan acara tersebut.

Terpisah, Selandia Baru belum mengatakan secara diplomatis memboikot Olimpiade. Tetapi, ketika ditanya apakah dia akan mendukung boikot, Menteri Perdagangan Damien O'Connor mengatakan itu adalah "sesuatu yang perlu kita lakukan sebagai sebuah bangsa" dan negara itu telah "kuat dan independen" dalam hak asasi manusia dan harus "terus melakukan itu."

Menanggapi pernyataan O'Connor, Wang mengatakan dia berharap semua negara bisa lebih bersatu dalam semangat Olimpiade dan menjauhkan politik dari olahraga.

Adapun Prancis tidak akan mengikuti jejak pemerintah Barat lainnya dan memboikot Olimpiade tetapi setiap pelanggaran hak asasi manusia di China harus dikecam, kata menteri pendidikannya, Kamis.

Menteri Luar Negeri Prancis juga mengatakan Paris harus mengambil sikap yang sama dengan negara-negara Uni Eropa lainnya dalam setiap boikot diplomatik.

Beberapa ahli mengatakan, China memang peduli dengan boikot, mengingat waktu dan upaya yang telah dicurahkan untuk mengkritik langkah tersebut.

"China berharap untuk menggunakan mega-event olahraga global ini untuk menunjukkan kedudukan internasionalnya, memperluas pengaruhnya. Boikot itu tentu merusak harapan ini dan mengakibatkan hilangnya 'wajah' bagi China," terang Li Mingjiang, profesor di Sekolah Studi Internasional S. Rajaratnam di Singapura.