Tolak Permintaan China Pindahkan Kapal Perang dari Laut China Selatan, Menhan Filipina: Sudah Ada dari 1999
BRP Sierra Madre LT-57 milik Filipina di Laut China Selatan. (Sumber: Smartage/Defense Studies)

Bagikan:

JAKARTA - Filipina tidak akan memindahkan kapal perang milik angkatan laut mereka yang dikandaskan di sebuah atol di Laut China Selatan, sebut kepala pertahanannya pada Kamis, menolak permintaan China setelah negara itu memblokir misi untuk memasok awak kapal.

Menteri Pertahanan Filipina Delfin Lorenzana menolak pernyataan China pada Hari Rabu, terkait dengan komitmen Filipina untuk memindahkan kapal perang BRP Sierra Madre LT-57 , yang sengaja dikandaskan di Second Thomas Shoal pada tahun 1999 untuk memperkuat klaim kedaulatan Manila di Kepulauan Spratly.

BRP Sierra Madre LT-57 merupakan kapal perang jenis kapal pendarat tank sepanjang 100 meter (330 kaki) dibangun untuk Angkatan Laut AS selama Perang Dunia II dengan nama USS Harnett County (LST-821). Sempat berdinas untuk Angkatan Laut Vietnam dengan nama RVNS My Tho pada 1970-1976, sebelum dipakai Filipina.

"Kapal itu sudah ada sejak 1999. Kalau ada komitmen pasti sudah lama disingkirkan," kata Lorenzana kepada wartawan, mengutip Reuters 25 November.

Sebelumnya, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian pada Hari Rabu mengatakan, "Beijing menuntut pihak Filipina menghormati komitmennya dan menghapus kapalnya yang dikandangkan secara ilegal".

Untuk diketahui, Second Thomas Shoal, yang terletak 105 mil laut (195 km) dari Palawan, adalah rumah sementara dari kontingen kecil militer di atas kapal berkarat, yang dikandaskan di kawasan tersebut.

Menteri Lorenzana menuduh China melanggar ketika penjaga pantainya mengganggu misi pasokan untuk pasukan.

China mengklaim sebagian besar Laut China Selatan sebagai miliknya, menggunakan "sembilan garis putus-putus" pada peta yang menurut putusan arbitrase internasional pada tahun 2016 tidak memiliki dasar hukum.

Padahal, Second Thomas Shoal berada dalam zona ekonomi eksklusif 200 mil laut Filipina, sebagaimana diuraikan dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, yang ditandatangani oleh China.

"Kami memiliki dua dokumen yang membuktikan bahwa kami memiliki hak berdaulat di ZEE kami sementara mereka tidak, dan klaim mereka tidak memiliki dasar," tegas Menteri Lorenzana.

"China harus mematuhi kewajiban internasionalnya yang menjadi bagiannya," sambungnya.

Awal pekan ini, Presiden Rodrigo Duterte mengatakan pada pertemuan puncak yang diselenggarakan oleh Presiden China Xi Jinping, dia "membenci" tindakan China baru-baru ini di kawasan itu.