Kisah Wanita Muslim Uighur Xinjiang China yang Merasa Hidup di "Neraka"
Salah seorang wanita Uighur di Xinjiang (Sumber: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Zumrat Dawut, seorang wanita Uighur menceritakan kisahnya bagaimana ia dihukum karena memiliki tiga orang anak. Ironis, selain dituntut untuk membayar denda, ia juga dipaksa untuk mensterilisasi kandungannya. Direktur proyek World Uyghur Congress menyebut kasus yang lazim dialami wanita Uighur ini membuat mereka seperti hidup di "neraka."

Dawut menceritakan kisahnya kepada CNN bagaimana ia dipaksa mensterilisasi rahimnya oleh pemerintah China, karena memiliki tiga anak, lebih dari jumlah yang ditetapkan pemerintah setempat sebanyak dua anak. Selain itu, wanita Uighur berusia 38 tahun tersebut mengatakan dirinya didenda sebesar 18.400 yuan atau sekitar 38 juta rupiah pada 2018.  

Saat Dawut beranjak untuk membayar denda, ia tidak hanya disuruh melunasi hukumannya, melainkan juga diwajibkan melakukan prosedur pengendalian kelahiran. Saat itu juga ia dibawa ke klinik. Di sana ia dipasang infus dan diberi obat anestesi. 

Kemudian seorang dokter yang menangani Dawut mengatakan kepadanya bahwa ia baru saja usai melakukan ligasi tuba, sebuah operasi lubang kecil untuk memotong tuba fallopi si wanita tersebut. Intinya di klinik itu ia disterilisasi secara permanen. 

Kisah yang dialami Dawut tidak unik. Selama bertahun-tahun, wanita Uighur baik di Xinjiang maupun di seluruh dunia menuduh pemerintah China melakukan kampanye pelecehan termasuk sterilisasi paksa, indoktrinasi budaya dan insiden kekerasan seksual. 

CNN menyebut ini merupakan bagian dari pola pelanggaran hak asasi manusia yang luas oleh Partai Komunis China (PKC) di Xinjiang, yang mana pihak berwenang dituduh menahan hingga dua juta warga Uighur. Ini dinilai sebagai upaya menegakkan kontrol atas wilayah yang banyak dihuni minoritas China tersebut. 

Direktur proyek World Uyghur Congress di London asal Xinjiang, Rhima Mahmut mengatakan para wanita yang hidup di sana seperti berada dalam "neraka." "Sama seperti genosida apa pun dan di mana pun, perempuan selalu menjadi target nomor satu. Ada kejahatan yang sangat serius terjadi pada skala besar," kata Mahmut. 

Pemerintah China secara konsisten menyangkal semua tuduhan tersebut. Mereka mengatakan upayanya di Xinjiang sebagai langkah yang sah dan dianggap perlu untuk mencegah ekstrimisme. Dan tak lupa juga propaganda adanya ancaman terorisme terhadap negara.