Bagikan:

JAKARTA - Hari ini, 10 September, warga dunia memperingati Hari Hak Asasi Manusia. Peringatan ini seharusnya lebih nyaring lagi di China. Sebab, sehari sebelumnya, pada 9 September pengadilan independen yang berbasis di Inggris menetapkan negara tersebut telah melakukan genosida terhadap etnik Uighur di Xinjiang.

Pengadilan kasus Uighur tersebut merujuk pada tindakan pengendalian kelahiran dan sterilisasi yang diduga dilakukan secara sistematis oleh negara terhadap orang Uighur. Sir Geoffrey Nice, pengacara Inggris yang memimpin persidangan, seperti dikutip BBC, mengungkapkan bahwa China telah "mempengaruhi kebijakan yang disengaja, sistematis dan terpadu" untuk membawa "pengurangan jangka panjang dari Uighur dan populasi etnik minoritas lainnya."

Sir Geoffrey mengatakan panel dalam persidangan itu percaya para pejabat senior termasuk presiden China Xi Jinping bertanggung jawab atas pelanggaran terhadap minoritas Muslim di wilayah Xinjiang. Untuk diketahui, para panelis itu terdiri dari para pengacara dan akademisi.

Tatkala membaca putusan pengadilan, Sir Geoffrey mengatakan tak ada bukti pembunuhan massal di Xinjiang. Namun dia bilang bahwa upaya yang dituduhkan untuk mencegah kelahiran sama dengan niat genosida. Sementara panel juga mengatakan telah menemukan bukti kejahatan terhadap kemanusiaan, penyiksaan, dan kekerasan seksual terhadap orang-orang Uighur.

Temuan dari pengadilan independen Inggris ini memang tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak mengikat para pejabat. Akan tetapi penyelenggaranya mengatakan pada awalnya mereka bermaksud untuk menambah bukti seputar tuduhan terhadap China dan mencapai kesimpulan independen tentang masalah genosida.

Ilustrasi (Pexels/Ekaterina Bolovtsova)

Sementara itu, Pemerintah China sendiri telah membantah semua tuduhan pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang. Kedutaan Besar China di London menyatakan hak politik, ekonomi, sosioal dan kebebasan beragama semua kelompok etnik dijamin penuh di sana. Lantas apa sebenarnya yang terjadi di Xinjiang?

Yang terjadi di Xinjiang

Menurut laporan terbaru Amnesty International pada Juli lalu, menyebut tindakan pemerintah China terhadap orang-orang dalam kelompok minoritas Muslim di negara itu sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Laporan tersebut menguliti pemenjaraan massal, penyiksaan, dan penganiayaan sistematis yang dilakukan oleh negara terhadap warga di Provinsi Xinjiang, termasuk Uighur dan Kazakh. Mereka juga menemukan upaya penutupan yang dilakukan pemerintah China.

Setidaknya lebih dari 50 orang yang telah ditahan di kamp-kamp Xinjiang bersaksi dalam laporan Amnesty International. Setiap dari mereka mengaku bahwa dirinya disiksa dan dianiaya.

Laporan tersebut mengindikasikan adanya pemberantasan praktik keagamaan Islam di China. Jonathan Loeb, penasihat senior Amnesty International yang menjadi penulis utama laporan tersebut, dalam wawancaranya dengan NPR mengatakan jutaan Muslim di Xinjiang telah terpengaruh oleh situasi di sana.

"Ratusan ribu orang telah dikirim ke kamp-kamp interniran selama empat tahun terakhir. Dan jutaan Muslim di Xinjiang telah terpengaruh oleh situasi di sana," kata Loeb. Ia bilang hanya sedikit orang yang bisa dan berani mengutarakan masalah ini kepada publik.

"Apa yang Amnesti coba lakukan selama 18 bulan terakhir adalah untuk mengidentifikasi dan menghubungi orang lain yang telah berhasil keluar dari Xinjiang, tetapi tidak mau, karena alasan keamanan, untuk berbicara di depan umum sebelumnya. Jadi kami menghabiskan banyak waktu dan upaya untuk melacak 55 mantan tahanan dari kamp-kamp yang tidak berbicara sebelumnya."

Foto udara Kota Xinjiang, China (Wikimedia Commons/Anagoria)

Temuan Amnesty International itu menyimpulkan bahwa setiap orang yang dikirim ke kamp interniran mengalami penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya. Baik sebagai akibat kumulatif dari kehidupan sehari-hari di kamp maupun sebagai akibat siksaan fisik selama interogasi dan hukuman selama berada di kamp.

"Sekitar 17 atau 18 mantan tahanan yang diwawancarai Amnesty diinterogasi dan disiksa secara fisik saat dilumpuhkan di kursi harimau. Kursi itu terbuat dari baja di mana tangan dan kaki ditempelkan ke kursi dan orang benar-benar tak dapat bergerak," kata Loeb.

Menurut Loeb ancaman nyata bukan hanya terjadi untuk masa depan melainkan di masa sekarang ini. Banyak rumor yang telah benar-benar terjadi. Hal-hal yang berbau praktik Islam seperti salat, pergi ke masjid, mengajar agama, memakai pakaian agamis, memberi nama anak yang terdengar islami, telah dilarang. "Akibatnya, untuk bertahan hidup, umat Islam di Xinjiang telah mengubah perilaku mereka dengan cara yang tidak memungkinkan mereka untuk terlibat dalam praktik keagamaan lagi."

Persatuan Bangsa-Bangsa mencatat sekitar 1,5 juta orang Uighur berada di kamp-kamp interniran di China. Sementara Antropolog yang menjadi anggota senior dalam penelitian kamp Xinjiang, Victims of Communism Memorial Foundation, menyebut perkara ini sebagai penahanan terbesar dari minoritas etnoreligius sejak Holocaust. Hal ini menurutnya memenuhi definisi genosida PBB.

*Baca Informasi lain tentang HAK ASASI MANUSIA baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

BERNAS Lainnya