Jeff Smith, Psikedelik, dan Hidup 'Haram' yang 'Dalam'
Aktor, penulis, dan komedian Amerika, Paul Scheer dalam "Have a Good Trip" (Sumber: IDMB)

Bagikan:

JAKARTA - Aktor muda, Jeff Smith kembali ditangkap polisi karena narkoba. Setelah ketahuan pakai ganja, kali ini polisi menyita LSD (Lysergic Acid Diethylamide). Keduanya mengandung zat halusinogen, yang juga dikenal psychedelic drug. Ini adalah kisah tentang revolusi psikedelik di dunia: sejarah, budaya, dan politik dari cara hidup psikedelik yang kini dibela manfaatnya.

"Saya tidak berpikir psikedelik adalah jawaban dari segala permasalahan di dunia. Tapi psikedelik bisa jadi awal," tutur Sting dalam wawancara di film dokumenter Have a Good Trip yang dipublikasikan Netflix.

Dalam dokumenter itu, Sting dan sejumlah selebritas lain, termasuk Deepak Chopra, ASAP Rocky, Sarah Silverman, Nick Kroll, Ben Stiller, Paul Scheer, Anthony Bourdain hingga Carrie Fisher menceritakan pengalaman mereka mengonsumsi zat psikedelik dan bagaimana peristiwa itu memengaruhi kehidupan mereka.

Iya. Psikedelik adalah cara hidup. Ia memengaruhi jalan berpikir, cara kita melihat suatu hal, bahkan bagaimana kita menikmati hidup. Film yang disutradari Donick Cary ini juga menelisik realitas psikedelik dan membantai stigma sosial serta diskredit kelembagaan yang langgeng.

Testimoni yang terjalin dari mulut satu selebritas dan lainnya, ditambah animasi representatif plus penjelasan-penjelasan sejarah dan pemaparan dari sisi pengetahuan membuat Have a Good Trip mudah dipahami. Kita, bahkan yang awam akan mampu membayangkan proses spiritual yang terjadi dalam perjalanan-perjalanan psikedelik yang dialami para selebritas.

Ya, walau tentu saja tak akan penuh karena psikedelik adalah pengalaman rohani. Sting melanjutkan ceritanya dengan mengatakan, "Ketika saya mengalami perjalanan buruk (bad trip), saya justru menyadari itu yang saya butuhkan."

Animasi pengalaman psikedelik Sting dalam "Have a Good Trip" (Sumber: IMDB)

Pernyataan Sting menegaskan, bahkan ketika ia mengalami pengalaman buruk dalam dimensi psikedelik, ia tetap mendapatkan sesuatu untuk ditanamkan dalam dirinya. Bad trip akibat zat psikedelik yang juga kerap dikaitkan dengan kegilaan permanen nan tiba-tiba juga terbantahkan dalam film ini. Dr. Charles Grob, profesor psikiatri UCLA menganulir prasangka ini.

Menurut Grob pengalaman psikedelik seseorang dibentuk dari karakter subjektif. Artinya, pola pikir yang tidak stabil saat orang mengonsumsi zat psikedelik yang menciptakan kerentanan bad trip. Dan itu situasional. Tak permanen. Memang, dalam jumlah konsumsi yang tak terkontrol, senyawa psikedelik dapat memengaruhi keseimbangan zat biologis dalam otak.

Tapi bahwa psikedelik adalah zat yang membuatmu langsung gila seketika, itu jelas kebohongan usang. Stigma sosial dan politik ini akan kita bahas nanti. Yang jelas, Grob melanjutkan, perjalanan psikedelik adalah pengalaman spiritual yang mendorong seseorang menghadapi konflik terdalam dan sumber kecemasan mereka.

Ini yang akan menciptakan penjernihan-penjernihan dalam pikiran dan sikap manusia. Carrie Fisher memperkuat pernyataan Grob. Ia menceritakan bagaimana zat psikedelik membantunya memahami dan mengenali dirinya sendiri. Sangat penting untuk seorang Carrie Fisher yang identifikasi dirinya lebih banyak ia temukan dari mata orang lain.

Carrie Fisher dalam "Have a Good Trip" (Sumber: IMDB)

Carrie Fisher adalah penderita bipolar. Ketenaran karakter sebagai Putri Leia mendikotomikan perasaannya hidup sebagai Leia, alih-alih Carrie. Dan perjalanan psikedelik menggunakan LSD membantu Carrie mendekonstruksi identitasnya lagi.

“Ketika saya pertama kali diberitahu bahwa saya bipolar, saya pergi ke dokter dan saya berkata, 'Ya, saya merasa normal dengan asam (acid alias LSD),'" kata Carrie.

Terapi psikedelik

Ilustrasi foto (Marcus Loke/Unsplash)

Maret 2021 melahirkan momen bersejarah. Untuk pertama kalinya obat halusinogen jenis dimethyltryptamine atau DMT diujicoba sebagai obat potensial untuk depresi.

Dikutip BBC, para peneliti berharap DMT dapat menjadi alternatif bagi orang-orang yang depresinya tak berhasil diobati oleh pil-pil konvensional. Terapi menggunakan obat psikedelik ini mereka yakini sebagai solusi jangka panjang untuk menangani gejala-gejala penderita depresi.

"Kami yakin dampaknya akan segera terjadi, dan lebih tahan lama daripada antidepresan konvensional," kata Carol Routledge, yang memimpin kelompok ilmuwan Small Pharma, perusahaan farmasi yang menggelar ujicoba ini.

DMT dikenal sebagai 'molekul roh' karena bekerja dengan mengubah kesadaran seseorang menjadi halusinasi yang direlasikan mirip dengan pengalaman sekarat. Seperti yang digambarkan Gaspar Noe dalam Enter The Void.

DMT adalah bahan aktif dalam ayahuasca, salah satu tanaman obat tradisional yang tumbuh di hutan tropis Amazon. Meski para peneliti menemukan reaksi penggunaan DMT terhadap kelancaran kerja otak, mereka mengatakan studi ini masih harus didalami.

Sebelum DMT, zat psikedelik yang sempat diujicoba sebagai terapi psikiatri adalah jamur ajaib alias magic mushroom. Sejumlah studi menemukan berbagai manfaat dari zat psylocibine penyebab mabuk jamur terhadap penderita depresi.

Sejumlah negara bagian di Amerika Serikat (AS), seperti Denver dan Oregon bahkan sudah melegalisasi penggunaan magic mushroom untuk terapi. Beberapa negara lain, seperti Australia masih menjajaki penelitian demi penelitian untuk mencapai 'kesadaran tertinggi' nasional.

Namun, dalam penelitian terbaru, April 2021, para ilmuwan di Inggris mendapati bahwa senyawa psikedelik dalam magic mushroom bahkan memiliki manfaat yang setara dengan obat antidepresan. Ini tentu jadi momentum penting ketika kita disuruh memilih antara zat terapi yang tumbuh dari alam atau tercipta secara kimiawi.

“Salah satu aspek terpenting dari pekerjaan ini adalah bahwa orang dapat dengan jelas melihat potensi terapi psilocybin yang diberikan dengan benar,” kata Robin Carhart-Harris, Kepala Pusat Penelitian Psikedelik di Imperial College, London. Inggris, dikutip Healthshots.

Lalu, bagaimana dengan ganja? Tak perlu ditanya lagi manfaatnya. Bahkan LSD, jika melihat sejarah, senyawa asam itu diciptakan dengan tujuan medis, yakni mengobati sakit pernapasan. LSD kemudian dipolitisasi hingga menanggung stigma sosial yang teramat buruk.

Di Indonesia, dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, LSD dikategorikan sebagai narkotika golongan I. Di klasifikasi itu jugalah ganja dan magic mushroom terdaftar.

Politisasi dan stigma sosial psikedelik

'LSD trip' pertama di dunia terjadi puluhan tahun lalu. Adalah Albert Hofmann yang tiba-tiba mengalami halusinasi luar biasa di tengah jam kerjanya di laboratorium farmasi, Sandoz kala itu. Hoffman tak sengaja mengonsumsi LSD-25, obat sintetis yang ia ciptakan sendiri.

Pada 1938, Hoffman menciptakan LSD-25 sebagai bagian dari penelitian tentang nilai obat dari senyawa asam lisergat. LSD kemudian secara resmi dikenal sebagai asal lisergat dietilamida.

Mengutip History, Hofmann lalu menceritakan pengalamannya. Ia menjelaskan secara rinci bagaimana ia merasakan suatu sensasi luar biasa seperti adanya imajinasi dan mimpi yang saat itu membuatnya tidak nyaman.

“Jumat lalu, 16 April 1943, saya terpaksa menghentikan pekerjaan saya di laboratorium pada siang hari dan pulang ke rumah karena dipengaruhi oleh kegelisahan yang luar biasa, ditambah dengan sedikit pusing. Di rumah saya berbaring dan tenggelam dalam kondisi yang tidak menyenangkan," kata dia.

"Seperti mabuk yang ditandai dengan imajinasi yang sangat terstimulasi. Dalam keadaan seperti mimpi, dengan mata tertutup (karena saya merasakan siang hari menyilaukan tidak menyenangkan), saya merasakan gambar fantastis yang tidak terputus, bentuk luar biasa dengan permainan warna kaleidoskopik yang intens. Setelah sekitar dua jam, kondisi ini memudar.”

Hoffman telah menyintesis LSD selama lima tahun sebelumnya, dengan harapan bisa mengobati penyakit pernapasan. Namun obat tersebut tidak kunjung membuahkan hasil dalam penyembuhan penyakit pernapasan.

Karena itu Hoffman kemudian berhenti menelitinya. Untuk menguji teori bahwa LSD mungkin ada hubungannya dengan reaksi aneh yang ia alami di laboratorium, Hoffman dengan sengaja mengonsumsi lebih banyak obat tersebut beberapa hari kemudian.

Pencipta LSD, Albert Hoffman (Sumber: Wikimedia Commons)

Kali ini pengalaman Hoffman lebih meresahkan. Tapi Hoffman telah mengantisipasi dengan meminta asisten laboratoriumnya untuk mengawal saat ia bersepeda pulang. Pilihan bijak karena kecemasan Hoffman betul-betul menjadi.

Saat pulang, Hoffman melihat tetangganya tampak seperti penyihir jahat. Hoffman berpikir dirinya menjadi gila. Seorang dokter dipanggil. Tapi sang dokter tak menemukan apa pun yang salah secara fisik dengan Hoffman. Hoffman kemudian berangsur-angsur membaik. Sensasi psikedelik yang luar biasa itu memudar.

"Kaleidoskopik, gambar-gambar fantastis melonjak dalam diri saya, bergantian, beraneka ragam, membuka dan kemudian menutup diri dalam lingkaran dan spiral, meledak dalam air mancur berwarna, menata ulang dan menghibridisasi diri dalam fluks konstan," dikutip dari Multidisciplinary Association for Psychedelic Studies.

Hoffman dengan cepat sampai pada kesimpulan bahwa LSD dapat jadi alat yang ampuh untuk merawat orang dengan kondisi kejiwaan, meski ia tak dapat membayangkan ada orang yang menggunakannya untuk tujuan rekreasi. Pihak Sandoz setuju dan mematenkan LSD pada 1947, memasarkannya kepada psikiater untuk diberikan pada pasien sakit jiwa.

Perusahaan farmasi juga merekomendasikan agar terapis meminum obat tersebut sehingga mereka dapat lebih memahami pasien mereka. Selama periode 15 tahun yang dimulai pada 1950, penelitian tentang LSD dan zat halusinogen lainnya menghasilkan lebih dari seribu makalah ilmiah dan beberapa lusin buku.

LSD kemudian diresepkan sebagai pengobatan untuk lebih dari 40 ribu pasien, termasuk orang-orang seperti bintang film, Cary Grant. Banyak psikiater juga mulai menggunakan obat tersebut untuk rekreasi dan membagikannya dengan teman-teman.

Pada saat yang sama, badan-badan intelijen, seperti CIA mulai memelajari LSD sebagai senjata kimia potensial. Alasannya, seperti yang dikatakan seorang peneliti:

LSD mampu membuat seluruh kelompok orang, termasuk pasukan militer, acuh tak acuh terhadap lingkungan dan situasi, mengganggu perencanaan dan penilaian, bahkan menciptakan ketakutan, kebingungan dan teror yang tak terkendali.

Tekanan politis penggunaan LSD

LSD (Sumber: McGill.ca)

Ditekan oleh pejabat publik yang resah melihat penyebaran LSD di tengah masyarakat umum, Sandoz berhenti memproduksinya pada 1965. Tapi sudah terlambat.

Didukung oleh orang-orang seperti psikolog Harvard, Timothy Leary, LSD terlanjur jadi komponen inti dari budaya tandingan pada 60-an. Sebagai tanggapan, pemerintah AS melarang obat tersebut pada 1966.

Penelitian tentang LSD yang cukup banyak berakhir pada 1980. Uang hibah telah mengering karena tidak ada yang mau dikaitkan dengan obat yang menjadi sasaran pejabat publik dan lembaga penegak hukum itu.

Namun, pada Maret 2014, hampir 40 tahun sejak ujiklinis terakhir pada LSD, Journal of Nervous and Mental Disease menerbitkan hasil studi, di mana 12 orang di Swiss --kebanyakan dari mereka adalah pasien kanker stadium akhir-- diberi LSD sebagai bagian dari terapi mereka.

Para peneliti ingin melihat apakah obat tersebut dapat membantu mereka menghadapi kematian yang telah menunggu. Salah satu pasien, seorang pria 67 tahun melaporkan bahwa ia bertemu dengan ayahnya yang telah lama meninggal dan terasing di suatu tempat di alam semesta.

Ia mengangguk. Ia juga memberi testimoni. LSD tak dapat menyelamatkannya dari kematian. Tapi LSD mampu membantu jiwanya menghadapi kematian.

*Baca Informasi lain soal PENGETAHUAN atau baca tulisan menarik lain dari Putri Ainur Islam dan Yudhistira Mahabharata

BERNAS Lainnya