Hikmah Candaan Latuconsina Andre: Belajar Komedi Sudah, Kapan Kita Belajar Adat?
Andre Taulany (Instagram/@andreastaulany)

Bagikan:

JAKARTA - Candaan komedian, Andre Taulany dan Rina Nose dalam program televisi Ramadan jadi perbincangan hangat di jagat dunia maya. Dalam salah satu baris celotehannya, Andre dan Rina menjadikan sebuah marga penting di Maluku, Latuconsina sebagai plesetan. Sebagian mengkritik candaan itu. Segelintir lain membela Andre, mengangkat unsur canda ke dalam 'pledoi'. Mungkin iya. Tapi, kasus ini harusnya membuka mata kita semua. Selain belajar bercanda, kita juga perlu "belajar adat". Mendalami makna dari kata tersebut.

Atas candaan itu, Andre dan Rina dilaporkan ke polisi. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Yusri Yunus membenarkan laporan itu. Menurutnya, Andre dan Rina dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik melalui media elektronik. Laporan itu teregistrasi dengan nomor LP/2880/V/YAN 2.5/2020/SPKT PMJ, tanggal 18 Mei.

Andre dan Rina dilaporkan oleh seseorang bernama Ruswan Latuconsina. Dalam perkara ini, keduanya disangkakan dengan Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (3) UU RI No. 19 Tahun 2016 tentang ITE dan atau Pasal 310 KUHP.

"Keduanya (terlapor) menyinggung dengan membalikkan nama keluarga besar dari PL yang memang dari keluarga ini tidak menerima dan merasa dilecehkan oleh kedua terlapor tersebut. Kemudian mereka memerintahkan salah satunya untuk melaporkan kebetulan yang melaporkan advokasinya," kata Yusri di Jakarta, Selasa, 19 Mei.

Bagi Andre, ini bukan kali pertama candaannya berbuah masalah. Sebelumnya, Mei 2019, di program televisi yang identik, Andre juga melontarkan baris celotehan yang menyinggung umat agama Islam. Saat itu, penyanyi Virzha tampil sebagai bintang tamu dan menjelaskan alasannya menggeluti bisnis parfum.

Virzha mengaku terinspirasi dari Rasulullah, Nabi Muhammad SAW yang wanginya disebut menyerupai seribu bunga. Andre membalas pernyataan Virzha: Aromanya seribu bunga? Itu badan apa kebon?

Mantan vokalis band Stinky itu belakangan meminta maaf. Ia mendatangi kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 4 Mei 2019. Di bulan dan tahun yang sama. Candaan Andre yang lain juga disoroti. Tentang dua ulama, Ustaz Adi Hidayat dan Ustaz Abdul Somad, kali ini.

Di sebuah tayangan video yang ia pandu bersama Sule, dua bersaudara da Lopez, Jovial dan Andovi hadir sebagai bintang tamu. Kala itu mereka tengah membahas sebuah merek sepatu, ketika Andre tiba-tiba berceletuk: Tapi memang, le. Merek Adisomad itu bagus.

Andre, lagi-lagi meminta maaf setelah menyadari celetukannya menyinggung sebagian golongan orang. Pun untuk candaan tentang Latuconsina ini. Andre telah meminta maaf. Permintaan maaf Andre disampaikan oleh Prilly Latuconsina, aktris muda yang namanya disebut dalam candaan Andre dan Rina.

"Kami mengerti bahwa Pak Andre dan Kak Rina tidak ada niat sedikitpun untuk menghina, apalagi menyinggung. Semua itu murni ketidaksengajaan dan ketidaktahuan mereka atas marga Latu," kata Prilly dalam unggahan di Instagram Stories, Selasa, 19 Mei.

Dalam unggahan itu, Prilly turut menyampaikan bahwa keluarga besarnya telah memaafkan Andre dan Rina. Namun, menurut Prilly, pihak yang melaporkan Andre dan Rina berasal dari kampung yang berbeda dari keluarga besarnya. "Saya mohon sekali dengan sangat hormat untuk semua yang juga bermarga Latu bisa sama-sama memaafkan di bulan yang suci ini. Apalagi bangsa ini sedang menghadapi COVID-19," kata Prilly.

"Belajar adat"

Sebelum laporan terhadap Andre dan Rina terkonfirmasi, sebuah video ramai di media sosial Facebook. Pemilik akun dengan nama Ust Arsal Tuasikal mengungkap kekesalannya. Ia tak terima dengan candaan dari Andre dan Rina. Baginya, singgungan pada SARA tak dapat ditolerir.

“Pagi ini kita terkejut dengan acara sahurnya NET TV. Ada candaan yang menghina kita orang Maluku, khususnya orang Pelauw karena candaan marga Latuconsina, yang disebut Latukonstruksi, Latukondangan. Ini sungguh sebuah hal yang tidak layak, Ada dua catatan yang perlu diingat, orang-orang seperti keduanya tidak usah dipakai lagi di acara nasional. Karena mereka tidak ada adatnya,” imbuhnya.

Video itu juga ramai dikomentari warganet. Dalam unggahan akun @lambe_turah yang menampilkan video tersebut, warganet bereaksi. Beberapa menghakimi Andre dan Rina, meski tak sedikit juga yang membela. Beberapa di antaranya menganggap empunya video terlalu berlebihan jikalau membawa persoalan ini ke jalur hukum.

"Lawakan aja dianggep serius hmmmmm:)," tulis @ayuanggraeinii.

Lainnya, @muzayen_yayen dan @sabtia_nurika mempertanyakan di mana letak penghinaan SARA yang dilakukan Andre dan Rina.

"Asli saya gak ngerti. Dimana tempat menghina SARA nya tolong dong diperjelas.”

"Menghinanya dimana???"

Kami tentu tidak dalam kapasitas penghakiman benar atau salah. Namun, sebaris kalimat yang disampaikan laki-laki dalam video unggahan di atas amat menarik. Sang pria mengatakan, "Siapapun manusia yang tidak beradat, dia akan kehilangan kehormatannya karena dia lebih suka menghina orang lain."

Cukup sering mungkin kita mendengar kata "belajar adat". Sebuah nilai dasar kenapa seseorang perlu mendalami kesejatiannya. Namun, memang tak cukup baik barangkali kita memahami, apalagi mengamalkannya.

Kami menghubungi budayawan, Feby Triadi untuk mendalami konteks pengamalan kata "belajar adat". Menurut Feby, makna kata di atas amat penting bagi seseorang yang hidup di tengah akulturasi. Bagi bangsa Indonesia, adat adalah akar. Memahaminya akan menguatkan posisi seseorang dalam nilai-nilai luhur yang mendasar. Nilai yang akan berpengaruh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Karena adat yang ada saat ini merupakan hasil kreasi atas nilai yang dilahirkan oleh leluhur untuk menjadikan kehidupan manusia lebih baik. Makanya, segala hal yang menyangkut adat, norma, nilai, etika dan estetika sebagai dimensi dari kebudayaan, mestinya tercermin melalui perilaku sehari-hari,” ucapnya kepada VOI, Selasa, 19 Mei.

Pelemahan adat dan budaya memang kerap menghadap-hadapkan mereka, pemegang teguh adat dengan mereka yang tidak. Ini yang menurut Feby terjadi dalam kasus Andre: lahirnya kemarahan karena merasa dimensi kebudayaannya diremehkan.

Namun, di sisi lain, Feby juga mengajak seluruh pihak untuk mendalami terlebih dahulu konteks candaan yang ditampilkan Andre. “Apakah betul-betul melecehkan atau cuma bahan candaan dari segmentasi acara yang mereka bawakan, mengingat ucapan tak lahir tanpa adanya konteks. Sebab, posisi sadar dan latah juga beda tipis.”

Atas dasar itu, Feby menegaskan jika Andre dan Rina menguncapkan hal itu dalam posisi sadar dan konteksnya tak sedang bercanda, maka wajar jika ada yang tersinggung. Sedangkan, jika dilakukan dalam segmentasi tertentu dan menuntut sikap spontanitas hal itu akan menjadi biasa saja.

“Meski begitu, tetap saja candaan keduanya patut disayangkan. Tapi, pertanyaan baru muncul, apakah mereka berdua tahu jika nama yang dipelesetkan adalah nama salah satu marga? Jika benar, mestinya mereka minta maaf. Namun, jika tidak, maka periksa dulu selera humor orang yang merasa tersinggung tersebut,” tambah Feby.

Tentang Latuconsina

Dengan segala kasus di atas, Andre sudah mengajarkan banyak kepada kita tentang apa itu komedi. Barangkali, sekarang saatnya kita benar-benar "belajar adat".

Tentang marga Latuconsina, Karodono Setyorakhmadi, dalam buku Melawat ke timur: Menyusuri Semenanjung Raja-Raja (2015) menjelaskan posisi adat bagi orang Maluku, khususnya orang Palau, kampung leluhur Latuconsina. Dalam tulisan itu, Karodono menjelaskan bagaimana orang-orang Latuconsina memiliki nilai adat dan budaya yang kuat. Nilai-nilai itu bahkan selalu hadir di setiap aspek kehidupan masyarakat.

“… Termasuk kapan boleh ambil ikan jenis tertentu, mengambil sumber daya alam juga ada aturannya, maka proses internalisasi adat pun terjadi sejak masa kanak-kanak. Jadi, adat menjadi dasar bagi orang Maluku untuk menjalani kehidupannya, Katong sangat hormat pada adat,” tulis Karodono.

Menariknya, salah satu adat di Maluku pun mengajarkan seseorang untuk dapat menghormati orang lain, termasuk pada para tamu dan musafir. “Mereka akan sangat malu jika tamu mereka menderita atau kelaparan. Sanksi adat sendiri sebenarnya sangat ringan. Hanya denda atau pukulan rotan maksimal lima kali. Tapi rasa malu dan menelantarkan tamu bisa ditanggung satu marga.”

Hal itu pun terlihat dari mencuatnya kasus candaan marga Latuconsina. Beberapa di antaranya orang Maluku merasa tersulut amarah ketika marga tersebut dihina. “Sebab, kami semua anak adat. Semua harus patut pada adat,” tutur si pengunggah video menirukan ucapan orang Maluku.

“Latuconsina, Latuharhari, Latumeten. Jadi kalau kebetulan Latuconsina saja yang dibully. Tapi menyebutkan Latu, maka itu sudah mencangkup semua warga (Maluku). Baik Muslim maupun Nasrani. Maka kalian sudah menghina kami semua,” tegasnya.