Bagikan:

JAKARTA - Mira, seorang transpuan dibakar hidup-hidup hingga tewas oleh sekelompok massa pada Minggu, 5 April. Ia dituduh mencuri ponsel seorang sopir truk di kawasan Cilincing, Jakarta Utara. Kelompok hak asasi manusia (HAM) menyoroti kasus ini sebagai diskriminasi kelompok LGBTQ. Barangkali benar, meski buat kami, situasi ini jauh lebih kompleks. Membakar seseorang sampai mati karena pencurian ponsel yang tak terbukti? Ini jelas lebih dari diskriminasi kelompok minoritas. Ini adalah bukti lain tertinggalnya peradaban bangsa dalam kemanusiaan.

Lembaga yang berfokus pada perjuangan kesetaraan terhadap gender dan orientasi seks minoritas, Arus Pelangi menyoroti kasus ini. Dalam kacamata mereka, jelas, kasus ini merupakan bentuk nyata stigma terhadap kelompok LGBTQ, yang dalam kasus Mira adalah transpuan.

Kelompok masyarakat di bidang HAM, Jaringan Masyarakat Sipil Semarang juga menyoroti perspektif stigma dan diskriminasi kelompok LGBTQ. Ada tiga poin yang mereka suarakan, di mana salah satu poinnya menegaskan kecaman terhadap diskriminasi ini.

1. Mengecam perbuatan pelaku dan menuntut pelaku untuk diadili melalui jalur hukum,

2. Mengecam seluruh tindakan diskriminasi, kekerasan, dan intimidasi yang ditujukan kepada kelompok minoritas seksual dan gender (LGBTIQ),

3. Meminta kepolisian untuk segera menangkap seluruh pelaku dan mengadili sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Ilustrasi foto (Denin Lawley/Unsplash)

Kami berbincang dengan kriminolog Universitas Indonesia Adrianus Meliala untuk mencari tahu bagaimana stigma terhadap kelompok transpuan dapat memicu tindakan tak beradab sebagaimana dilakukan para pembunuh Mira. Menurutnya, faktor stigma jelas adanya, meski belum tentu yang utama.

Stigma terhadap kelompok transpuan, yang pasti membuat mereka rentan jadi sasaran kemarahan. Namun, ada faktor lain yang perlu didalami, tentang kenapa kemarahan dapat menguasai para pelaku sebegitu gilanya. Kesulitan ekonomi, misalnya. Tak ada alasan yang dapat membenarkan kekejian ini, memang. Namun, faktor tersebut nyata adanya.

Dan ini harus dibenahi. Sebab, jika perkara fundamental seperti penyejahteraan sosial masyarakat dan pengangkatan derajat serta wawasan lewat pendidikan tak dibenahi, stigma terhadap kaum LGBTQ akan makin menjadi. Ujungnya, keberadaan kaum LGBTQ di tengah masyarakat pada masa mendatang akan semakin terancam.

"Ini kan akibat dari semakin kuatnya pandangan yang ditanamkan oleh beberapa pihak bahwa orang LGBT adalah dosa, bukan manusia, bahkan setan," ucap Adrianus, saat dihubungi, Rabu, 8 Maret.

"(Jika tak dibenahi) orang (di masa mendatang) tidak perlu lagi menunggu atau mencari trigger untuk kemudian marah. Tanpa trigger pun kalangan LGBT bisa jadi mangsa," tandas Adrianus.

Diskriminasi di ranah hukum

Polres Metro Jakarta Utara telah menangkap beberapa pelaku pembunuhan Mira. Kasat Reskrim Kompol Wirdhanto Hadicaksono, mengatakan, dari lima pelaku yang terlibat pembunuhan, beberapa di antaranya telah ditangkap.

Namun, ia tak merinci keterangannya, termasuk soal kronologi hingga berapa jumlah tepat pelaku yang ditangkap. Perkara masih dalam pemeriksaan, katanya. "Sudah ada pelaku yang ditangkap," ucapnya, Selasa, 7 April.

Lembaga perdamaian dan HAM, Sandya Institute, dalam rilis yang dikutip VICE Indonesia, menyatakan kekhawatiran terkait diskriminasi dalam penanganan kasus Mira. Informasi yang mereka himpun, polisi baru menangkap dua dari lima pelaku yang membakar Mira.

Kekhawatiran ini beralasan. Menurut catatan lembaga Arus Pelangi, dalam kurun waktu 2006-2018, setidaknya ada 1.850 kasus persekusi waria dan transpuan yang tak diselesaikan aparat.

Yang paling jadi sorotan, salah satunya adalah kasus penembakan delapan waria di Taman Lawang, Menteng, Jakarta Pusat. Sejak peristiwa terjadi pada 2011, tak ada perkembangan berarti dari kasus tersebut.

Pembakaran hidup-hidup

Pengadilan Negeri Bekasi telah menjatuhkan vonis terhadap orang-orang yang membakar Muhammad Al Zahra alias Zoya, pria yang dituduh mencuri pengeras suara musala di Kampung Cabang Empat, Babelan, Bekasi. Lima terdakwa atas nama Najibulah, Zulkahfi, Aldi, Subur, dan Karta divonis tujuh tahun penjara. Seorang tersangka lain, Rosadi divonis lebih berat, delapan tahun penjara. Dia adalah pelaku utama yang membakar Zoya.

Kasus Zoya terjadi pada 1 Agustus 2017. Zoya dikeroyok sebelum dibakar karena dituduh mencuri pengeras suara di Musala Al Hidayah. Kala itu, kasus Zoya viral karena ia disebut tidak mencuri sebagaimana dituduhkan para pengeroyok. Pengeras suara yang ditemukan warga, konon adalah milik Zoya sendiri. Namun, dalam penyelidikan, polisi membuktikan, satu dari tiga pengeras suara musala hilang. Di sepeda motor Zoya, ditemukan barang yang identik.

Di bulan yang sama, satu tahun setelah kematian Zoya, tepatnya 11 Agustus 2018, seorang maling motor di Probolinggo, Jawa Timur juga tewas dibakar hidup-hidup oleh warga. Samhadi alias Esam tewas dengan luka mengenaskan. Pria 40 tahun itu diduga memiliki ilmu kebal. Hal itu yang memicu kegeraman warga hingga membakar Esam hidup-hidup. 

"Dia (Esam) orangnya memang kuat, pak. Jangankan dibacok, ditembak pun tidak mempan. Warga ya sempat bingung untuk melumpuhkan. Hingga warga lengah dan ia berhasil kabur dari tangkapan warga," ungkap Hari, seorang warga Kecamatan Tiris, ditulis Detik kala itu.

Kriminolog Universitas Indonesia Adrianus Meliala mempertegas kompleksitas ini. Menurut Adrianus, persoalan ini harus ditangani dengan pendekatan yang luas pada komunitas atau kelompok masyarakat. Artinya, butuh kaca mata yang lebih makro untuk menangani persoalan ini.

Ada persoalan besar yang harus dipenuhi negara, tentang seberapa luas negara memajukan peradaban masyarakat. Peradaban secara ekonomi, kematangan berpikir, hingga wawasan soal standarisasi kemanusiaan, dalam konteks ini. Kata kemanusiaan tak boleh lagi hanya didengar, tapi juga dipahami dalam wujud dan standarisasi yang konkret. Pendidikan berperan penting. 

"Dalam kelompok, orang bisa jadi makin berani, makin mudah mengamuk sekaligus makin sadis pula. Termasuk melakukan pembakaran orang yang masih hidup. Begitu pelaku kembali sendiri, yang bersangkutan pasti menyesal dan takut karena telah melakukan tindakan itu," tutur Adrianus.

Jelas, masih banyak peristiwa penghakiman serupa di luar kasus Zoya, Esam, dan Mira. Namun, hanya dari tiga kasus di atas, sejatinya kita telah dapat melihat kompleksitas dari persoalan ini, tentang kenapa banyak orang begitu gilanya membakar orang lain hidup-hidup. Dan bagi kami, Mira bukan transpuan yang dibakar hidup-hidup oleh Massa. Mira adalah manusia yang hidupnya diambil oleh manusia lainnya.