Bagikan:

JAKARTA - Hari ini dunia memperingati Transgender Day of Remembrance (TDoR). TDoR diperingati untuk mengenang sosok Rita Hester, tokoh transgender dunia. Di Indonesia, kami tak menemukan perayaan ini. Perkara jumlah pun masih gelap. Namun, yang nampak paling terang adalah fakta bahwa transgender rasanya memang tidak akan cocok dengan masyarakat Indonesia. Bukan mengecilkan keberadaan transgender. Tapi, begitulah masyarakat negeri ini.

TDoR dimulai pada 1999. Desainer grafis, kolumnis sekaligus aktivis transgender, Gwendolyn Ann Smith yang memulainya. Gerakan ini dilakukan Gwendolyn untuk mengenang kematian Rita Hester yang mati dibunuh di Allston, Massachusetts, Amerika Serikat (AS) pada 28 November 1998 lalu. Perempuan transgender peranakan Afrika-Amerika itu ditikam hingga tewas di apartemennya.

Rita dibunuh beberapa pekan setelah pembunuhan Matthew Shepard yang konon adalah seorang gay. Matthew mati di Wyoming. Kematian keduanya kala itu membangunkan keresahan tentang kejahatan dan kebencian terhadap kaum gay.

Satu tahun setelah kematian Rita, sebuah peringatan digelar di San Fransisco. Sejumlah orang menyalakan lilin untuk mengenang Rita dan Matthew. Sejak itu, TDoR dirayakan dengan menyalakan lilin. Pada 2010, TDoR telah dilakukan di lebih dari 185 kota di sekitar 20 negara di Amerika Utara. Perayaannya terus meluas ke sejumlah negara.

Peringatan TDoR di Washington DC, Amerika Serikat tahun 2015 (Commons Wikimedia)

Transgender dalam kesehatan

Transgender biasanya didasari oleh disforia gender yang sebelumnya dikenal sebagai gangguan identitas gender. Disforia gender adalah kondisi ketika seseorang mengalami ketidaknyamanan pada jenis kelamin biologis mereka.

Penderita disforia gender menganggap identitas gender mereka tak sesuai dengan jenis kelamin biologis yang dikaruniakan kepada mereka. Disforia gender diakui secara medis oleh American Psychiatric Association.

Yang perlu dicatat, gangguan ini bukan penyakit kejiwaan. Dalam beberapa kasus, disforia gender membutuhkan pengobatan medis. Dilansir dari News Medical, sejumlah studi mengindikasikan bahwa kondisi ini tak cuma dipicu ketidakselarasan otak, namun juga dapat dipicu penyebab biologis terkait perkembangan identitas gender sebelum dilahirkan.

Menurut buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), seseorang tak dapat begitu saja dikatakan mengalami gangguan disforia gender, kecuali ia telah menunjukkan perbedaan nyata antara gender yang ia yakini dan gender yang dipersepsikan orang lain. Kondisi keyakinan itu pun harus berlangsung setidaknya enam bulan. Keyakinan yang dimaksud adalah ketika seseorang merasa tidak seharusnya berada dalam kelompok jenis kelamin tertentu.

Kondisi kesehatan ini sejatinya juga sempat disinggung oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Pada 2018 lalu, WHO merilis ICD-11, versi terbaru dari Klasifikasi Penyakit Internasional. Dalam IDC-11, WHO menyatakan transgender bukan lagi sebagai gangguan mental. Sebelum menghapus transgender, WHO sebelumnya juga telah menghapus homoseksualitas dari klasifikasi sejak 1990.

Peluang hidup damai di Indonesia

Di Indonesia, transgender memang masih barang tabu. Jumlahnya tak dapat ditaksir. Keberadaan mereka juga jadi tabir. Yang jelas, Indonesia rasanya memang bukan tempat untuk transgender. Bukan mengucilkan keberadaan transgender. Namun, faktanya, masyarakat Indonesia memang belum dapat menerima keberadaan transgender.

Sebuah riset yang dirilis Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 2018 menunjukkan besarnya resistensi terhadap lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di tengah masyarakat Indonesia. Berdasar survei, sebesar 87,6 persen masyarakat Indonesia masih menganggap LGBT sebagai ancaman. Sementara, 10,8 persen berpandangan sebaliknya. Sisanya, tak menjawab.

Survei itu juga menangkap resistensi ini sebagai reaksi dari ajaran agama di Indonesia. Jumlahnya mencapai 81,5 persen penduduk Indonesia. Sementara, 8,6 persen lainnya berpendapat sebaliknya. "Dan ini berlaku untuk semua agama," ucap Direktur Komunikasi SMRC Ade Armando ditulis Tempo 2018 silam.

Ilustrasi foto (Angela Compagnone/Unsplash)

Berdasar data tersebut, mari kita coba cari tahu seberapa besar peluang transgender bisa hidup damai di Indonesia. Caranya, kita tengok beberapa ajaran agama di Indonesia. Kita mulai dari agama Islam sebagai agama dengan pemeluk terbanyak di Indonesia. Data yang dihimpun situs pengumpul data indonesia.go.id, masyarakat muslim masih mendominasi demografi keagamaan Indonesia.

Jumlahnya mencapai 207 juta atau 87,2 persen. Sedang pemeluk Protestan berada jauh di bawah Indonesia dengan jumlah 6,9 persen. Setelah Protestan, ada Katolik dengan jumlah 2,9 persen. Selanjutnya, Hindu (1,7%), Buddha (0,7%), dan Khonghucu dengan jumlah pemeluk agama 0,7 persen.

Hukum Islam mengatur sejumlah perkara terkait transgender, homoseksual atau pun perilaku seksual tak lazim lain. Dalam agama Islam, istilah transgender dalam kajian hukum syariat dapat dikaitkan dengan al-mukhannits --lelaki yang berperilaku seperti perempuan-- dan wal mutarajjilat --perempuan yang berperilaku seperti laki-laki.

Hadis Riwayat Ahmad mengisahkan bagaimana Nabi Muhammad pernah mengasingkan dan mengusir kaum transgender dari Kota Madinah. Kisah lain yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA mempertegas bagaimana Nabi Muhammad melaknat para transgender. Hadis tersebut berbunyi: Sesungguhnya baginda Nabi SAW melaknat para lelaki yang mukhannits dan para wanita yang mutarajjilat.

Sementara, dalam kitab Injil juga diatur sejumlah perkara mengenai LGBT. Kami tak menemukan yang spesifik tentang transgender memang. Namun, beberapa ayat dalam Injil menjelaskan bagaimana Tuhan mengutuk LGBT, khususnya kaum homoseksual.

"Mulai dari sini dosa datang dalam berbagai bentuk, mulai dari pembunuhan Habel oleh kakaknya sendiri Kain, dan kejahatan lain yang terus meningkat. Dan, dosa seksual, yaitu homoseksual terjadi di Sodom dan Gomora. Ketetapan Tuhan sangat jelas, era pra Taurat dimana perintah tertulis belum ada, hanya lisan, Tuhan membumi hanguskan kota Sodom dan Gomora," tertulis dalam Kejadian 19:28-29.

Sementara, buku ringkasan keyakinan umat Katolik, Katekismus Gereja Katolik (KGK) 2333 menuliskan: Tiap manusia, apakah ia pria atau wanita, harus mengakui dan menerima seksualitasnya. Perbedaan dan kesesuaian jasmani, moral, dan rohani ditujukan kepada pernikahan dan pengembangan hidup kekeluargaan.

Secara garis besar, agama Katolik menolak LGBT. Praktik homoseksual adalah sebuah penyimpangan yang harus dihindari karena tergolong dosa besar. Namun, Katolik juga menekankan pada upaya menghormati sesama manusia, termasuk kaum LGBT.