JAKARTA - Minggu, 10 Mei, orang-orang berkerumun di pelataran McDonald's (MCD) Sarinah. Bernostalgia, mereka. Otoritas khawatir kerumunan itu jadi klaster baru penularan COVID-19. Tak ada debat soal kekhawatiran. Yang menarik adalah kerumunan itu sendiri. Siapa mereka? Sekadar kerumunan mabuk kenangan? Atau Jangan-jangan mereka adalah gambaran dari situasi sosial yang genting dan penting untuk disadari bersama.
Tino Pratomo menyeberang ke Jalan MH Thamrin dari tempat kerjanya di Tanah Abang selepas buka puasa. Ia tiba di MCD Sarinah sekitar pukul 19.30 WIB. "Sudah ramai itu (suasana MCD Sarinah)," kata Tino kepada VOI, Senin, 11 Mei. Ia mengaku sengaja hadir di upacara penutupan gerai MCD pertama di Indonesia itu untuk nostalgia. Tak ada makanan yang ia beli. "Dekat kan (jarak). Sekalian. Banyak kenangan di situ," tambah dia.
Tino bukan tak sadar risiko transmisi virus corona dalam jumlah besar malam itu. Namun, dorongan untuk datang ke MCD Sarinah terlalu besar untuk dibendung, katanya. Dorongan yang sejatinya ia juga tak tahu darimana. "Tahu, sih (risiko transmisi). Tapi, gimana, ya," tutur Tino.
Psikolog klinis, Puti Alam Intan menjelaskan dorongan itu. Secara umum, nostalgia adalah kondisi yang didasari pada pengalaman emosional. Nostalgia mampu menyatukan seseorang dengan identitas dirinya. "Simpelnya, karena masa lalu, gue jadi orang seperti sekarang ini," tutur Puti.
Pemicu nostalgia macam-macam. Dalam konteks MCD Sarinah, nostalgia terpicu oleh penutupan gerai. Eksistensi MCD Sarinah selama 30 tahun telah mengaitkan tempat itu dengan memori banyak orang. "Jadi, mulailah memori yang berkaitan sama tempat tersebut keluar di pikiran individu yang sempat atau masih attach dengan tempat ini," kata Puti.
Berkaitan dengan momentum penutupan yang dijelaskan Puti. Sosiolog Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Tantan Hermansyah menjelaskan, dalam kacamata sosiologi, kerumunan masyarakat di MCD Sarinah adalah reaksi dari pecahnya pemberitaan media massa tentang penutupan MCD Sarinah dalam beberapa hari belakangan.
Eksposur pemberitaan memicu dorongan di tengah masyarakat untuk terlibat ke dalam budaya massa yang instan. "Salah satu indikatornya adalah tren. Mereka ingin menjadi bagian dari tren tersebut. Dan kebanyakan mereka yang ingin ada pada arus tren, rasionalitasnya berbeda dengan kebanyakan," kata Tantan, dihubungi VOI.
Refleksi kecemasan sosial
Dalam perspektif lain, kerumunan MCD Sarinah dapat dilihat sebagai refleksi kecemasan sosial terhadap kondisi tak menentu akibat pandemi COVID-19. Nostalgia adalah reaksi alam bawah sadar seseorang untuk mencari kekuatan dalam menghadapi situasi kekinian.
Nostalgia membuat seseorang lebih kuat menghadapi tantangan yang terjadi di masa sekarang. Secara psikologis, nostalgia dapat memunculkan perasaan hangat dan nyaman. Atas dasar itu, sadar tak sadar, dorongan nostalgia lebih kuat dalam kondisi penuh kecemasan dan ketidakpastian ini.
"Walaupun kadang ada rasa yang kurang menyenangkan (dalam nostalgia) kalau memorinya tidak menyenangkan. Umumnya, bernostalgia membuat individu merasa lebih kuat atau muncul perasaan positif karena ada rasa berhasil melewati hari hari sebelumnya," tutur psikolog klinis, Puti Alam Intan.
"Iya, di masa terpuruk, dorongan untuk bernostalgia bisa meningkat. Karena, dengan bernostalgia, dia bisa mengingat masa-masa menyenangkan yang pernah dialami," tambahnya.
Hidup dalam ketidakjelasan
Refleksi kecemasan sosial yang digambarkan kerumunan MCD jadi penting untuk dipahami. Sejak kasus pertama COVID-19, otoritas yang seharusnya menciptakan ketenangan justru membuat situasi makin tak menentu. Masyarakat dihadapkan pada banyak ketidakpastian.
Terakhir adalah klaim pemerintah tentang menurunnya angka COVID-19 sejak penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Pekan lalu, Senin, 4 Mei, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Doni Monardo menyatakan kasus baru penyebaran COVID-19 turun hingga sebelas persen.
Klaim itu diragukan banyak pihak. Peneliti Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU), Iqbal Elyazar, menyebut klaim itu tak masuk akal. Bukan apa-apa. Sejak kasus pertama COVID-19 diumumkan, Indonesia tak pernah menampilkan kurva epidemi yang sesuai dengan standar ilmu epidemiologi. "Karena itu, adanya klaim terjadinya penurunan kasus baru Covid-19 cukup meragukan," katanya, ditulis Tempo.co, Jumat, 8 Mei.
Kurva epidemiologis adalah alat visualisasi standar yang paling banyak digunakan otoritas untuk menggambarkan laju pertumbuhan ataupun perlambatan penyebaran virus. Lewat kurva ini, otoritas dapat melihat perjalanan pandemi, menentukan sumber, hingga mengetahui kapan penularan terjadi.
Selain itu, kurva digunakan untuk menentukan puncak pandemi atau memperkirakan akhir pandemi. Karenanya, kurva epidemiologis berimplikasi langsung pada keputusan-keputusan yang diambil, termasuk mengevaluasi efektivitas tindakan pengendalian wabah. Tanpa kurva epidemiologis, segala klaim pemerintah jadi mustahil.
Ada penjelasan sederhana bagaimana kurva epidemiologis bekerja. Dikutip Theconversation.com, kurva bekerja dengan dua indikator: sumbu Y (vertikal) dan sumbu X (horizontal). Sumbu Y menunjukkan jumlah kasus baru. Sementara, sumbu X merupakan indikator yang jadi patokan waktu analisis yang terkait jumlah kasus baru. Misalnya, tanggal orang terinfeksi, tanggal orang mulai bergejala, atau tanggal orang diperiksa.
Jika seratus persen orang terinfeksi di satu hari dan semuanya diperiksa, lalu hasil pemeriksaan diketahui di hari yang sama, maka jumlah kasus pada hari itu dibandingkan dengan hari sebelumnya. Perbandingan itu yang nantinya jadi penggambaran laju infeksi harian yang sesungguhnya. "Jika laju infeksi harian senilai 0,5, itu artinya ada pertambahan kasus baru sebanyak 50 persen setiap hari," kata Iqbal.
Namun, menurut catatan, hingga tanggal 8 Mei, pemerintah hanya menampilkan kurva harian kasus. Sumbu Y kurva versi pemerintah menjelaskan jumlah kasus terkonfirmasi. Sementara, sumbu X mencantumkan tanggal pelaporan ke publik. Hal ini jauh dari pola penghitungan yang benar. Kasus konfirmasi tambahan berbeda dengan jumlah kasus baru. Dengan kata lain, kurva pemerintah bukanlah kurva epidemi.
"Angka jumlah kasus harian yang dilaporkan tidak bisa menjelaskan laju infeksi harian pada hari sebelumnya. Dengan kata lain, turunnya angka kasus harian itu tidak bisa langsung dibaca sebagai turunnya laju infeksi harian," ucap dia.
Fakta ini memunculkan keresahan baru. Satu hal yang amat dibutuhkan untuk menjawab kepastian-kepastian justru tak dimiliki --jika tak ingin disebut tak disediakan-- pemerintah. Sadar tak sadar, ketidakpastian ini mendorong masyarakat bergerak di luar kendali. Bukan hanya kendali pemerintah, tapi kendali rasionalitas masyarakat itu sendiri.
Aturan Pemprov DKI?
Atau bicara soal penindakan, misalnya. Kelemahan otoritas jelas jadi masalah. Seorang pengunjung bernama Alfred (26) mengatakan, tak ada penertiban berarti dari aparat. Padahal jarak antarwarga di beberapa titik terlihat cukup padat malam itu.
Saat kerumunan terjadi kemarin malam, Pemprov DKI Jakarta pun tak berdaya. Menurut keterangan Alfred, petugas Satpol PP baru tiba di lokasi sekitar pukul 23.00 WIB, padahal kerumunan sudah terjadi sejak sekitar 19.00 WIB. Setelahnya, pembubaran baru dilakukan.
"Tolong, kepada warga, sekarang masih PSBB. Tidak boleh ada keramaian. Keramaian di depan McDonald's sebaiknya segera dibubarkan," Alfred menirukan imbauan Satpol PP.
Kepala Satpol PP DKI Arifin mengatakan, sejatinya ada aturan yang dapat menjerat MCD Sarinah. Namun, aturan berbentuk penghentian operasional sementara itu tak dapat diberlakukan karena MCD Sarinah sudah tutup. "Kan tempat usaha di sana sudah ditutup, ya sudah," kata Arifin saat dihubungi, Senin, 11 Mei.
BACA JUGA:
Dalam aspek lain, penerapan aturan oleh Pemprov DKI terbilang berlubang. Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 41 Tahun 2020 yang jadi dasar hukum sanksi dan penindakan PSBB baru disosialisasikan hari ini kepada publik. Padahal, Pergub tersebut telah berlaku sejak 30 April lalu.
Bukan pembenaran untuk kerumunan ceroboh. Tapi, sudut pandang ini penting agar kita berhenti saling menghakimi. Dalam perspektif ini, ilmu psikologi justru melawan pandangan banyak warganet yang mengutuk habis-habisan kerumunan MCD Sarinah.
Dalam situasi pandemi hari ini, nostalgia justru amat penting. Ia tak hanya penting sebagai romansa masa lalu, tapi juga sebagai pemberi kekuatan untuk menghadapi hari-hari berat pandemi COVID-19. Hari-hari dengan kepastian kosong.