Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) disorot karena pernyataannya tentang beda mudik dan pulang kampung. Tak sedikit warganet yang menjadikannya lelucon. Warganet yang rasanya tak hanya perlu lebih sering membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk mengerti arti kata, namun juga harus lebih dalam menyelami politik untuk memahami makna di balik pernyataan itu. Sebab, dalam politik, pemaknaan kata pun adalah alat kekuasaan.

Dalam sebuah wawancara bersama Najwa Shihab, Jokowi dihadapkan pada pertanyaan tentang banyaknya warga yang 'curi start' mudik. Jokowi merespons pertanyaan itu dengan jawaban: Kalau itu bukan mudik, itu namanya pulang kampung.

Jokowi menjelaskan lebih jauh. Dia bilang, mudik adalah kegiatan pulang ke kampung halaman menjelang Idulfitri. Sementara, pulang kampung berada di luar konteks hari raya. "Memang bekerja di Jabodetabek, di sini sudah tidak ada pekerjaan, ya mereka pulang. Karena anak istrinya ada di kampung," kata Jokowi.

Sang Presiden tak sepenuhnya salah. Bahkan, ia paham betul dua perbedaan konteks itu. Secara terminologi, mudik dan pulang kampung memang memiliki perbedaan, khususnya dalam konteks. Kami mengecek KBBI online dan menemukan perbedaan itu. Menurut KBBI online:

Mudik:

- Arti: (Berlayar, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman).

Konteks: Dari Palembang (mudik) sampai ke Sakayu.

- Arti: Pulang ke kampung halaman

Konteks: Seminggu menjelang Lebaran sudah banyak orang yang (mudik).

Pulang kampung:

- Arti: Kembali ke kampung halaman; Mudik.

Konteks: Dia (pulang kampung) setelah tidak lagi bekerja di kota.

Jebakan Istana

"Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang," begitu kata trio jenaka Warkop DKI (Dono, Kasino, Indro). Begitu yang terjadi kemudian. Masyarakat ramai-ramai tertawa. Sang Presiden jadi bulan-bulanan di media sosial. Mengingat ini negara demokrasi, masyarakat barangkali boleh saja menertawakan jawaban presidennya.

Namun, penting untuk diingat, dalam politik, pemaknaan kata adalah alat kekuasaan. Permainan terminologi macam ini telah lama jadi trik penguasa, terutama dalam mengotak-atik kebijakan. Jokowi menunjukkan dengan gamblang malam tadi, bahwa pemerintahannya pun mempraktikkan permainan ini.

Ia menyebut, ada dua kebijakan yang diambil pemerintahannya untuk mengendalikan pergerakan orang di masa pandemi ini. Pertama, imbauan jangan pulang kampung. Kedua, larangan mudik. Jika berangkat dari temuan KBBI, permainan terminologi yang dipraktikkan Istana makin masuk akal. Ada beberapa bahaya yang harus diantisipasi dari permainan ini.

Peneliti ilmu politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aisah Putri Budiarti menjelaskan, bahaya pertama adalah kebingungan. Dalam kondisi pandemi, pemerintah harusnya menghindari kebijakan yang sarat permainan terminologi. Sebab, masyarakat membutuhkan panduan yang jelas dan terukur untuk meminimalisir bahaya penularan.

"Dalam konteks ini, pulang kampung ataupun mudik akan sama-sama membawa risiko penularan tersebut. Sehingga, harusnya, baik itu mudik ataupun pulang kampung, meski menurut Presiden Jokowi berbeda maknanya, tetapi karena punya risiko tersebut (penularan), maka harusnya dilarang," tutur Puput --sapaan akrabnya-- kepada VOI, Rabu, 23 April.

Antrean kendaraan (Sumber: Kemenpupr)

Terpisah, analis politik dari Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago mengkritik permainan terminologi yang dipraktikkan pemerintah. Di matanya, ada yang harus diperhatikan rakyat dari permainan ini, yaitu tentang bagaimana pemerintah mengalihkan narasi kegagalan menangani pandemi ke persoalan lain yang jauh dari substansi permasalahan pengendalian pergerakan orang.

"Permainan terminologi ini kan jebakan sehingga masyarakat tidak lagi fokus membahas yang subtansial, tapi akhirnya terjebak pada permainan terminologi mudik dan pulang kampung. Rakyat sendiri lupa mengkritik kebijakan dan peraturan pemerintah yang enggak konsisten dan plin-plan," kata Pangi.

Seperti Puput, Pangi juga menyoroti bahaya kebingungan yang dapat muncul dari pernyataan Jokowi. Dan lagi-lagi. Masyarakat tak boleh hanyut dalam jawaban Jokowi, yang menurut Pangi adalah jebakan tingkat tinggi berbentuk dagelan.

"Kan jadi dagelan lucu-lucuan. Nanti (masyarakat) dilarang petugas di lapangan, mereka punya alasan, 'kita enggak mudik, Pak, kita hanya pulang kampung. Kan kacau, kalau pulang kampung boleh, mudik enggak boleh," tutur Pangi.

"Luhut saja dengan Jokowi bisa memaknai beda pesannya, bagaimana rakyat enggak pusing soal terminologi mudik dan pulang kampung?"

Pangi

Alat politik

Jika tertawa sudah, maka sekarang saatnya melawan. Masyarakat perlu mengasah kritisme. Bermodal itu, masyarakat dapat menyuarakan keresahan mereka pada kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah dengan lebih tepat sasaran. Tak perlu turun ke jalan untuk saat ini mungkin. Membangun ekosistem media sosial yang waras rasanya cukup.

"Tentunya, pemerintah harus juga responsif atas pandangan publik ini dan menanggapinya dengan mengevaluasi dan memperbaiki kebijakan yang dianggap kontroversial dan menimbulkan kebingungan publik," kata Puput.

Kesadaran tinggi untuk 'melawan', menurut Puput jadi penting ditumbuhkan. Permainan terminologi macam ini nyatanya mencelakakan. Puput menyoroti beberapa peraturan dan kebijakan yang dibuat melalui permainan terminologi ini.

Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), tentu jadi contoh paling nyata, bagaimana permainan terminologi dipraktikkan pemerintahan rezim terdahulu untuk membentuk dan menjadikan UU ini bersifat karet. Sifat karet lain dalam pembentukan UU juga dapat ditemukan di dalam berbagai pasal Omnibus Law UU Cipta Lapangan Kerja.

Presiden Joko Widodo (Instagram/@jokowi)

Puput menjelaskan, secara politis, permainan terminologi dalam pembuatan kebijakan ataupun peraturan biasanya sengaja dilakukan untuk "mengakomodir berbagai kepentingan sekaligus meredam kemungkinan kontroversi atau kritik publik, menyegerakan pembuatan kebijakan, dan lainnya," kata Puput.

Di luar segala bahaya dari permainan terminologi ini, Puput melihat jawaban Jokowi kemarin malam sebagai cermin sejati kapasitasnya beserta rezim yang ia pimpin. Sebuah kalkulator untuk menghitung seberapa kredibel pemerintahannya menyelenggarakan negara.

"Kebijakan pemerintah selama ini dalam banyak aspek lain kan memang seringkali multitafsir dan lemah koordinasi antarkementerian atau lembaga pemerintah. Maka, Kasus COVID-19 membuatnya jadi sangat jelas," kata Puput.