Anggotanya Dicopot dari Kabinet: Militer Mali Tahan Presiden dan Perdana Menteri

JAKARTA - Otoritas Militer Mali menahan presiden, perdana menteri dan menteri pertahanan pemerintah sementara pada Hari Senin 24 Mei waktu setempat.

Peristiwa ini memperburuk kekacauan politik hanya beberapa bulan setelah kudeta militer, yang menggulingkan presiden sebelumnya menurut sejumlah sumber. 

Presiden Bah Ndaw, Perdana Menteri Moctar Ouane dan Menteri Pertahanan Souleymane Doucoure semuanya dibawa ke pangkalan militer di Kati di luar ibu kota Bamako, beberapa jam setelah dua anggota militer kehilangan posisi mereka dalam perombakan pemerintahan, kata sumber diplomatik dan pemerintah.

Penahanan mereka menyusul penggulingan Presiden Ibrahim Boubacar Keita oleh militer pada Bulan Agustus lalu. Perkembangan tersebut dapat memperburuk ketidakstabilan di negara yang terletak di Afrika Barat, lantaran kelompok-kelompok kejam yang terkait dengan Al-Qaidah dan ISIS menguasai sebagian besar wilayah gurun di utara.

Ketidakstabilan politik dan pertikaian militer telah mempersulit upaya kekuatan Barat dan negara-negara tetangga untuk menopang negara yang miskin, berkontribusi pada ketidakamanan regional.

Misi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Mali menyerukan pembebasan segera dan tanpa syarat kelompok itu, seraya mengatakan mereka yang memegang pemimpin harus bertanggung jawab atas tindakan mereka.

Sementara, delegasi dari badan pembuat keputusan regional ECOWAS akan mengunjungi Bamako pada Selasa untuk membantu menyelesaikan percobaan kudeta, sebut ECOWAS, PBB, Uni Afrika, Uni Eropa dan beberapa negara Eropa mengatakan dalam pernyataan bersama.

"Komunitas internasional sebelumnya menolak setiap tindakan yang dipaksakan dengan paksaan, termasuk pengunduran diri secara paksa," kata kelompok itu, melansir Reuters, Selasa 25 Mei.

Presiden Ndaw dan Perdana Menteri Ouane ditugaskan untuk mengawal transisi pemerintahan dari militer ke sipil selama 18 bulan, setelah pengambilalihan kekuasaan oleh militer Mali pada Agustus tahun lalu. 

Namun, keduanya diduga mengambil kebijakan yang berlawanan dengan kendali militer atas sejumlah posisi kunci di pemerintahan.

"Pencabutan pilar-pilar kudeta merupakan kesalahan penilaian yang sangat besar. Tindakan itu mungkin ditujukan untuk mengembalikan mereka ke pekerjaan mereka," kata seorang mantan pejabat senior pemerintah Mali.

Tujuan akhir militer masih belum jelas. Seorang pejabat militer di Kati mengatakan ini bukan penangkapan. "Apa yang mereka lakukan tidak bagus," kata sumber itu merujuk pada perombakan kabinet. "Kami memberi tahu mereka, keputusan akan dibuat."

Pangkalan militer Kati terkenal karena mengakhiri kekuasaan para pemimpin Mali. Agustus lalu, militer membawa Presiden Keita ke Kati dan memaksanya mundur. Pemberontakan di sana membantu menggulingkan pendahulunya Amadou Toumani Toure pada tahun 2012.

Mali terus bergejolak sejak itu. Kepergian Toure memicu pemberontakan etnis Tuareg untuk merebut dua pertiga bagian utara negara itu, yang dibajak oleh kelompok terkait Al-Qaeda.

Pasukan Prancis memukul mundur pemberontak pada tahun 2013, tetapi sejak itu mereka berkumpul kembali dan melakukan serangan rutin terhadap tentara dan warga sipil. 

Untuk diketahui, pemerintah transisi bulan lalu mengatakan akan mengadakan pemilihan legislatif dan presiden pada Februari 2022 untuk memulihkan pemerintahan yang demokratis.

"Ini disesalkan, tetapi tidak mengherankan, karena pengaturan yang disetujui setelah kudeta tahun lalu tidak sempurna. Tetapi, itu adalah kompromi yang disepakati oleh semua pemangku kepentingan utama Mali dan internasional," terang J. Peter Pham, mantan utusan khusus Amerika Serikat untuk Wilayah Sahel.