Saatnya Beralih ke Alpukat Organik untuk Kelestarian Lingkungan

JAKARTA - Siapa sangka, dibalik kampanye alpukat yang disebut baik bagi kesehatan tubuh, justru memiliki dampak lingkungan yang cukup memprihatinkan.

Ya, alpukat yang populer di berbagai belahan penjuru dunia, termasuk di Eropa, justru mendatangkan masalah lingkungan bagi negara asal alpukat tersebut. Sebab, alpukat memang diimpor oleh negara-negara Eropa. 

"Secara umum diketahui, peningkatan konsumsi alpukat yang eksplosif menyebabkan kekurangan air di negara asalnya," kata spesialis buah dan sayur organik Belanda Eosta, melansir Euronews.

Di Eropa, Prancis dan Inggris menjadi negara dengan angka pembelian paling tinggi. Sementara untuk konsumsi per individu, negara-negara Skandinavia menjadi yang teratas.

Sebagian besar dari buah ini didatangkan ke Eropa dengan cara impor dari negara-negara seperti Kolombia, Kenya dan Peru. Dan, negara-negara tersebut juga merasakan dampak lingkungan dari produksi alpukat yang intensif.

Ilustrasi. (Unsplash/Louis Hansel@shotsoflouis)

Eosta berpendapat, beralih dari metode penanaman yang lebih tradisional dapat membantu mengurangi konsumsi air. Mereka ingin lebih banyak perusahaan bersikap transparan tentang dampak lingkungan dari buah dan sayuran yang mereka jual.

"Pengecer makanan terkadang tampaknya takut dengan transparansi. Saya menantang supermarket untuk menunjukkan kepada konsumen yang memilih cara organik untuk air, tanah, dan iklim," kata CEO Eosta, Volkert Engelsman.

Setelah menjual hampir 3,5 juta kilogram alpukat organik tahun lalu, mereka mengklaim telah menyelamatkan 126 kolam renang seukuran olimpiade untuk air minum dan hampir 300 ton emisi CO2 dibandingkan dengan petani tradisional.

Kekhawatiran tentang dampak alpukat bagi planet ini telah menjadi topik perdebatan sejak buah pertama kali menjadi terkenal. Apa sebabnya?

Ilustrasi. (Unsplash/Bethany Randall)

Seperti beberapa bahan makanan populer lainnya termasuk pisang, alpukat sering kali ditanam secara monokultur. Ini berarti banyak tanaman yang sama ditanam di daerah yang tidak memiliki banyak keanekaragaman hayati. 

Ini dapat membuat mereka sangat rentan terhadap hama atau penyakit dan meningkatkan jumlah pestisida yang dibutuhkan untuk melindungi tanaman.

Saat terjadi hujan lebat, limpasan bahan kimia ini berpotensi mencemari lingkungan alam di sekitar tanaman. Mereka juga bisa berbahaya bagi penyerbuk yang kita andalkan untuk menghasilkan buah dan sayuran.

Para petani organik menahan diri untuk tidak menggunakan bahan kimia pertanian berbahaya seperti pestisida atau pupuk yang dapat berdampak negatif terhadap lingkungan dan mengeluarkan CO2.

Eosta juga mengatakan, tanah mereka juga mengandung lebih banyak karbon organik, memungkinkan mereka bertindak seperti spons dan menahan air. Perusahaan mengklaim ini berarti mereka dapat menghemat hingga 40 persen lebih banyak air dibandingkan dengan metode penanaman tradisional.