Jejak Pejuang Kooperatif dan Nonkooperatif Menuju Kemerdekaan Indonesia
JAKARTA - Perjuangan meraih Kemerdekaan Indonesia lewat pejuang kooperatif dan nonkooperatif bukan hal baru. Dulu kala Soekarno dan Mohammad Hatta memilih lajur nonkooperatif di era penjajahan Belanda. Pejuang kemerdekaan lain seperti M.H. Thamrin memilih jalur kooperatif.
Hubungan itu tiada masalah. Semuanya saling mendukung satu sama lain. Kondisi yang sama terjadi era penjajahan Jepang. Para kolaborator Jepang –Soekarno dan Hatta-- tak kehilangan akal mendukung gerakan bawah tanah bergerak untuk berjuang.
Perjuangan meraih kemerdekaan Indonesia tak pernah mengandalkan siasat tunggal. Gaya dan cara perjuangan pejuang kemerdekaan beragam. Cara yang paling populer digunakan adalah menjaga perjuangan lewat jalur kooperatif dan nonkooperatif.
Jalu kooperatif dikenal sebagai perjuangan kemerdekaan dengan cara berkompromi dengan penjajah. Mereka memperjuangkan kemerdekaan lewat jalur resmi: Volksraad (semacam DPR) atau organisasi lainnya yang diakui pemerintah kolonial.
Jalur nonkooperatif sebaliknya. Mereka dikenal sebagai pejuang yang tak mau berkompromi dengan penjajah. Mereka sering kali disebut kaum pemberontak. Contoh paling jelas adalah perjuangan Soekarno dan Hatta yang kerap dilabeli pemberontak.
Mereka yang jadi pejuang koorporatif juga tak sedikit. Sosok yang paling kesohor adalah M.H. Thamrin. Boleh jadi Thamrin termasuk bagian dari pemerintah kolonial lewat Volksraad. Namun, baktinya membantu pejuang dan perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia tiada dua.
Ia berjuang menaikkan hajat hidup kaum bumiputra lewat podium Volksraad. Ia memiliki andil besar dalam melindungi nyawa pejuang kemerdekaan yang ditangkap Belanda. Jejak itu diakui pejuang kemerdekaan di seantero negeri.
Belakangan siasat jadi pejuang kemerdekaan golongan koorporatif justru dipilih oleh Bung Karno dan Bung Hatta di era penjajahan Jepang. Mereka menganggap dengan cara berkolaborasi dengan Jepang bisa membuat kemerdekaan lebih memungkinkan hadir dengan cepat.
Baca juga:
- Sisi Lain Peristiwa Rengasdengklok: Kala Penjajah Jepang Panik Cari Soekarno - Hatta
- Detik-detik Kemerdekaan Indonesia: Perdebatan Sengit Golongan Tua dan Muda di Rengasdengklok
- Musuh dalam Selimut: Potret Hubungan Rumit Kolaborasi Penjajah Jepang dan Pejuang Kemerdekaan Indonesia
- Memori Indonesia Gelar Salat Gaib untuk Pejuang Palestina Yasser Arafat
Mereka yang berbeda paham memilih jalur gerakan nonkoorporatif sebagai gerakan bawah tanah. Mereka tak sudi bekerja sama dengan Jepang. Perbedaan itu tak membuat sesama pejuang saling benci.
“Basis kooperatif yang dianjurkan Thamrin telah dapat membuktikan bahwa sesuatu dapat dicapai untuk memperbaiki status sosial ekonomi rakyat. Pencapaian yang diperoleh para pemimpin nonkooperatif radikal bersifat kontradiktif, terlepas dari mereka yang terus terang mendukung doktrin Marxist tentang ekonomi yang menjadi faktor determinan utama kondisi masyarakat.
Di pihak lain haluan kooperatif tidaklah harus dipandang berhaluan moderat dan lebih pro Belanda daripada yang nonkooperatif. Sebaliknya, kooperator tidaklah selalu memang dirinya loyal kepada Belanda. Mereka juga sama kerasnya dengan golongan nonkooperatif dalam menghendaki kemerdekaan,” ungkap Sejarawan Bob Hering dalam buku Mohammad Hoesni Thamrin (2003).
Dua Cara, Satu Tujuan: Indonesia Merdeka
Imej pejuang kemerdekaan yang jadi kolaborator Jepang dicemooh banyak orang. Mereka sering dianggap sebagai loyalis Jepang. Kadang juga mandor Romusa (kerja paksa). Realitanya tak begitu. Golongan kooperatif dan nonkooperatif pada dasarnya memiliki arah perjuangan yang sama: Indonesia merdeka.
Para kolaborator Jepang seperti Soekarno, Hatta, dan lainnya terus aktif menyebarkan informasi kepada gerakan bawah tanah untuk bergerak. Gerakan bawah tanah yang di dalamnya ada Sutan Sjahrir, Sukarni, hingga Amir Sjarifuddin butuh informasi itu untuk menghimpun gerakan.
Komunikasi antara kedua golongan tak dapat terang-terangan. Kala itu mata-mata Jepang selalu mengawasi pejuang kemerdekaan yang jadi kolaborator. Namun, pejuang kemerdekaan tak kehabisan akal. Mereka tetap bisa melanjutkan pesan, sekalipun nyawa jadi taruhannya.
Ambil contoh Bung Karno. Ia kerap mengambil risiko untuk dapat melakukan kontak dengan pejuang bawah tanah. Informasi yang diberikan Soekarno jadi bekal perjuangan. Peran itu jadi bukti pejuang kooperatif bak telinga dari gerakan bawah tanah membaca situasi.
Siasat itu membawa keberhasilan. Puncak perjuangan itu berbuah manis dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang berlangsung pada 17 Agustus 1945. Pejuang dari dua golongan melebur jadi satu merayakan Indonesia merdeka.
“Mengandung risiko atau tidak, aku terus mengadakan hubungan rahasia dengan gerakan bawah tanah. Kadang-kadang aku melakukan suatu kontak larut malam di klinik sahabatku, Dokter R. Soeharto, ketika semua lampu sudah padam dan semua orang sudah menutup pintunya. Adakalanya aku mengadakan kontak dengan seorang penghubung di luar di tempat terbuka.”
“Kelihatannya saling bertukar kata yang menyenangkan, dan pada hari berikutnya bisikan itu tersebarlah pada anggota-anggota gerakan bawah tanah, ini boleh dikerjakan, ini tidak. Perintah-perintah ini berasal dariku. Aku sendirilah yang memiliki fakta-fakta tertentu. Aku merukan saluran informasi ke dua jurusan,” ungkap Bung Karno sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2014).