Militer Myanmar Lebih Takut Kelompok Bersenjata Sipil dibanding Sanksi Asing, Kok Bisa? Ini Penjelasannya
JAKARTA - Kudeta yang dilakukan Junta Militer Myanmar pada 1 Februari lalu mendapat kecaman luas di dalam dan luar negeri. Ancaman sanksi hingga pemutusan hubungan disampaikan oleh sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat.
Pengembalian kekuasaan sipil, diikuti dengan pembebasan sejumlah tokoh Myanmar, termasuk Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi dan Presiden Myanmar U Win Myint, serta tokoh-tokoh lainnya menjadi permintaan asing. Namun, militer Myanmar acuh sejauh ini.
Tapi, saat ada ancaman dari kelompok sipil bersenjata Myanmar untuk membela rakyat, militer langsung bereaksi bahkan menyampaikan kesediaan untuk berdialog. Ancaman datang dari Karen National Union (KNU), kelompok etnis bersenjata paling tua dan paling berpengaruh, dan Restoration Council of Shan State (RCSS) yang berbasis di Loi Tai Leng di perbatasan Thailand.
"Bebaskan semua yang ditahan tanpa syarat, sebagai isyarat rekonsiliasi nasional. Termasuk pemimpin pemerintah dan aktivis demokrasi. Menyelesaikan semua masalah politik secara damai melalui dialog," seru KNU yang siap membela rakyat Myanmar seperti dilansir The Irrawaddy beberapa waktu lalu.
“Kami menentang kudeta. RCSS menginginkan federalisme dan norma-norma demokrasi. Penggulingan pemerintahan yang dipilih secara demokratis bertentangan dengan norma-norma demokrasi. Kami menentangnya, kudeta merusak rasa saling percaya dan merusak proses perdamaian,” kata juru bicara RCSS Mayor Kham San.
Militer Myanmar pun merespon dengan menggelar pertemuan khusus Tim Pengarah Proses Perdamaian (PPST) dari kelompok penandatangan Perjanjian Gencatan Senjata (NCA) tahun 2015.
"Tatmadaw (militer) mengatakan akan mengadakan pembicaraan untuk mencapai perdamaian konkret dengan penandatangan NCA. Mereka mengatakan akan mencoba membangun perdamaian se-konkret mungkin," terang Juru Bicara PPST yang juga Sekjen KNU Padoh Saw Ta Doh Moo.
NCA ditandatangani oleh Pemerintah Myanmar dengan perwakilan kelompok-kelompok etnis bersenjata yang ada di Myanmar. Total ada 10 kelompok bersenjata sipil yang ikut menandatangani NCA pada 15 Oktober 2015, dari total 15 etnis yang diundang Pemerintah Myanamar.
Mereka yang ikut menandatangani yakni, ABSDF, Arakan Liberation Party, Chin National Front, DKBA-5, KNU, KNU/KNLA Peace Council, Lahu Democratic Union, New Mon State Party, Pa-O National Liberation Army dan RCSS.
Lantas, apa yang membuat Junta Militer Myanmar 'takut' dan bersedia berunding dengan kelompok bersenjata sipil Myanmar?
Sulit ditaklukan
Selepas merdeka dari Inggris di tahun 1948, pemberontakan politik dan etnis bersenjata di Myanmar terjadi di berbagai daerah. Pemberontakan awal dilakukan oleh KNU yang berjuang untuk membentuk Negara Bagian Karen yang merdeka dari Myanmar.
Di tahun 1960-an, penolakan pemerintah untuk mempertimbangkan sistem federal, menyebabkan satu per satu pemberontakan kelompok bersenjata terjadi. Saat itu, Myanmar dikuasai oleh militer Myanmar yang dipimpin oleh Jenderal Ne Win lewat kudeta pada 2 Maret 1962.
Di tahun 1980-an, kendati pemberontakan berbasis politik mereda, pemberontakan berbasis etnis tetap terjadi. Dan, kelompok-kelompok ini menguasai mayoritas wilayah di Myanmar dan perbatasan.
Gencatan senjata pun berulang kali dilakukan militer Myanmar dengan kelompok sipil bersenjata. Yang terkenal adalah gencatan senjata tahun 1989 yang dipelopori oleh Khin Nyunt yang belakangan menjadi Kepala Intelijen Militer.
Sebagai bagian dari cara meredam kelompok sipil bersenjata, penguasa memulai Program Pengembangan Kawasan Perbatasan di tahun 1989 hingga ditingkatkan menjadi ementerian Kemajuan Wilayah Perbatasan dan Ras Nasional di tahun 1992.
Namun, beberapa bentrokan antara militer dengan kelompok-kelompok ini tetap terjadi. Di tahun 2009, penguasa militer mengirim Letnan Jenderal Ye Myint untuk berunding dengan kelompok-kelompok bersenjata, membahas masalah keamanan kolektif di bawah kepemimpinan militer Myanmar.
Hingga berakhirnya kekuasaan militer Myanmar di tahun 2011, dilanjutnya dengan dimulainya era demokrasi Myanmar, kelompok-kelompok ini masih juga beberapa kali terlibat bentrokan dengan militer.
Total ada 36 perjanjian gencatan senjata yang diusahakan Pemerintah Myanmar, khususnya militer, sejak tahun 1989 hingga penandatanganan NCA di tahun 2015 lalu.
Sementara, selama lima tahun terakhir di bawah Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi, PPST dan pemerintah mengadakan empat putaran perundingan perdamaian tingkat Persatuan, yang disebut Konferensi Perdamaian Panglong Abad ke-21, dan menandatangani 71 perjanjian.
Baca juga:
- Kendalikan Internet, Junta Militer Myanmar Bisa Akses Akun Media Sosial dan Pesan Pribadi, Dibantu China?
- Periksa Keuangan Yayasan Aung San Suu Kyi, Militer Myanmar Incar Dana Asing?
- Wakil Gubernur Hilang, Ratusan Karyawan Bank Sentral Myanmar Ikut Unjuk Rasa Tolak Junta Militer
- Parlemen Angkat Aung San Suu Kyi Sebagai Pemimpin Myanmar hingga 2025, Apa Bedanya dengan Presiden? Ini Penjelasannya
"Meskipun jalur NCA mungkin berhasil untuk gencatan senjata, itu tidak akan menyelesaikan perang saudara. (Kelompok bersenjata) telah berjuang untuk federalisme, kesetaraan, dan penentuan nasib sendiri. Tetapi federalisme bukanlah yang dapat mereka minta dari militer. Militer bukanlah lembaga demokrasi, itu adalah organisasi yang diatur oleh satu darah, satu suara, dan satu komando," kata analis politik U Than Soe Naing.