Perdagangan Budak di Nusantara dan Kemenangan VOC di Kepulauan Banda

JAKARTA - Nafsu maskapai dagang Belanda, VOC menguasai seisi Nusantara tiada dua. Empu kuasa siap sedia melanggengkan apa saja untuk merebut kekuasaan. Jalur perang, apalagi. Kemajuan strategi dan persenjataan membuat VOC percaya diri.

Mereka kemudian menaklukkan banyak wilayah. Kepulauan Banda, salah satu. Penaklukkan yang berujung pembantaian itu jadi ajian VOC unjuk gigi kepada pesaingnya. Pun setelahnya orang Banda yang selamat diangkut dan dijual sebagai budak ke Batavia.

Gairah Nusantara sebagai negeri penghasil rempah mampu memancing perhatian dunia. Belanda dengan VOC jadi salah satu yang kepincut. Kompeni mencoba memulai bisnis perdagangan rempah di Nusantara. Hasilnya menguntungkan, namun tak membuat VOC puas.

Semuanya berubah ketika Jan Pieterszoon Coen mengambil alih kepemimpinan VOC. Gubernur Jenderal VOC yang pernah menjabat dua kali (1619-1623 dan 1627-1629) itu mulai melanggengkan siasatnya monopoli perdagangan rempah.

Jalur perang jadi ajiannya. Ia mengakui bahwa VOC memiliki segalanya untuk melanggengkan perang. Satu-satunya yang tak dimiliki VOC adalah mentalitas dan keberanian. Coen pun mendobraknya. Ia punya keberanian. Demikian pula, urusan mentalitas.

Jejak-jejak perdagangan lada di kepulauan Banda. (Wikimedia Commons)

Coen mulai merebut segenap wilayah Nusantara yang dianggapnya stategis untuk perdagangan rempah. Kompeni kemudian menaklukkan Jayakarta yang kemudian diganti namanya menjadi Batavia (kini: Jakarta) pada 1619.

Kesuksesan itu membuat nyali Coen semakin meninggi. Ia pun mulai menargetkan penaklukan-penaklukan lainnya. Coen ingin sekali menguasai seluruh perdagangan rempah di Kepulauan Banda. Ia melihat warga setempat justru mesra bekerja sama dengan orang Inggris dan Portugis.

Coen tak terima. Ia memilih untuk angkat senjata melawan seluruh saingannya. Kemudian, Kompeni bisa jadi satu-satunya penguasa yang menguasai perdagangan rempah di Kepulauan Banda.

“Sambil meraih sukses yang mengejutkan, Coen merencanakan tahap berikut dari strategi besarnya, yakni menaklukkan Banda. Pulau-pulau yang indah dan subur tersebut harus direbut dengan suatu kekuatan militer yang sangat besar, dan penduduknya yang tidak mau tunduk harus dihancurkan atau dipindahkan.”

“Untuk memproduksi pala dan fuli (kulit pembungkus biji pala), ia berencana akan mengandalkan diri pada budak-budak yang didatangkan sebagai buruh dan orang Belanda yang bermukim di sana sebagai pengawasnya. Sesungguhnya taka da sesuatu yang betul-betul baru dalam perencanaan Coen untuk Banda itu. wakil-wakil VOC yang lain suatu ketika pernah memikirkan dan bahkan pernah mencoba melaksanakan sebagaian dari rencana tersebut,” terang Sejarawan, Willard A. Hanna dalam buku Kepulauan Banda: Kolonialisme dan Akibatnya di Kepulauan Pala (1983).

Tawan dan Dagang Budak

Penaklukan Kepulauan Banda segera digelorakan oleh Coen. Ia ingin serdadu-serdadu Kompeni melanggengkan serangan terukur. Sebab, serangan tidak boleh meleset. Coen pun menyampaikan motivasinya yang berapi-api. Ajian itu supaya mental serdadu Kompeni jadi kuat.

Nyatanya, motivasi yang diberikan Coen mujarab. Penyerangan yang dilanggengkan Kompeni membuahkan hasil. Serdadu Kompeni yang mulai di daratkan sedari dini hari pada 11 Maret 1621. Mereka mampu mengepung orang Inggris dan Banda.

Semua itu dilakukan Karena Coen tak sudi bekerja sama dengan orang Banda yang condong akrab dengan Inggris. Penyerangan itu kemudian berujung pembantaian. Akibatnya, pembantaian itu hanya menyisakan 480 orang dari total 14 ribu orang di Banda.

Sisa orang Banda yang selamat diangkut VOC ke Batavia. Mereka lalu dijual di muka umum sebagai budak. Perdagangan manusia itu mengguntungkan. Sebab, VOC tak perlu mengeluarkan banyak uang untuk mendatangkan budak –tawanan perang-- seperti biasa dari ragam daerah yang berkonflik.

Buruh pemilah lada di Pulau Banda. (Wikimedia Commons)

Kehadiran budak dari Banda lalu mampu membawa eksistensi Kompeni di Batavia. Budak-budak itu mampu bekerja di segala bidang. Bahkan, budak-budak wanita yang cantik tak kalah jadi rebutan. Mereka kemudian banyak dijadikan sebagai gundik.

“Pada tanggal 11 Maret 1621 Kepulauan Banda diliputi awan berkabung yang pekat. Seluruh penduduk Banda dihabisi oleh (pasukan) Jan Pieterszoon Coen secara sangat kejam dan tidak mengenal peri kemanusiaan. Kepulauan Banda betul-betul kosong tanpa penduduk.”

“Seperti yang sudah dikatakan tadi, yang tidak sempat lari, kalau tidak gugur atau dibunuh secara kejam, ditangkap dan diangkut sebagai tawanan perang atau sebagai budak ke Batavia. Itulah penduduk Batavia yang mula-mula berasal dari Banda,” ungkap Sagimun MD dalam buku Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi (1988).