Dampak KDRT pada Korban Kekerasan, Kata Dokter: Selain Fisik, Kesehatan Mental Juga Ikut Terganggu

JAKARTA - Akhir-akhir ini, aksi KDRT atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga makin sering terjadi. Domestic abuse atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah pola perilaku dimana salah satu pasangan berusaha untuk memiliki kontrol atau kendali terhadap pasangannya. 

Pasangan ini bisa merujuk pada pasangan yang sekarang atau pasangan sebelumnya. Dan mereka bisa menyakiti secara fisik, seksual, maupun emosional, memperlihatkan perilaku mengontrol pasangan, atau memberi ancaman yang memengaruhi orang lain.

Contoh-contoh perilaku KDRT adalah manipulasi, mengintimidasi, meneror, menakuti, menyakiti, menghina, menyalahkan, melukai, bahkan mencederai pasangannya. Perilaku kekerasan ini juga bisa timbul bertahun-tahun, memberikan dampak yang luar biasa, seperti ekonomi, psikologis, cedera pada diri yang serius, serta kematian. 

KDRT bisa terjadi pada siapa saja tidak memandang ras, usia, jenis kelamin, agama, ataua orientasi seksual. Dan bisa juga terjadi pada pasangan yang baru berpacaran atau pasangan suami istri. Anak-anak, lansia, atau orang yang menjadi anggota keluarga tersebut juga bisa jadi korban KDRT.

>

Lalu, apa ada faktor risiko yang menyebabkan seseorang melakukan KDRT? dr. Hanifa Rahma, Tim Dokter Ai-Care menyebutkan kombinasi dari faktor individu, hubungannya dengan pasangan, serta lingkungan dan masyarakat di tempat tinggal seseorang bisa jadi penyebab dia melakukan KDRT. Faktor-faktor ini bisa meningkatkan kemungkinan terjadinya KDRT, namun belum tentu jadi penyebab utama dari KDRT itu sendiri.

Untuk faktor individu, mungkin saja dia memiliki masalah mengelola amarah atau anger issue, memiliki kecemburuan, kepercayaan diri yang rendah, atau adanya kepercayaan dalam budayanya bahwa mereka berhak untuk mengontrol pasangannya. Bisa juga orang tersebut memiliki ketergantungan alkohol dan obat-obatan berat yang menyebabkan kurang bisa mengendalikan impuls kekerasan yang muncul. Memiliki faktor ekonomi, riwayat abusive secara fisik pada pasangan sebelumnya, perilaku yang dipelajari dalam keluarga selama mereka tumbuh besar, bahwa kekerasan dalam keluarga adalah perilaku yang diterima.

Selanjutnya, faktor risiko hubungan dengan pasangan. Adanya konflik dalam hubungan seperti kecemburuan, rasa posesif, adanya ketegangan, perceraian, atau perpisahan. Salah satu pasangan lebih dominan atau mengontrol hubungan dibandingkan pasangan lainnya. Ada keluarga yang mengalami masalah ekonomi, lalu hubungan dan interaksi keluarga yang tidak sehat, saat kecil, melihat kekerasan yang dialami orang tua, mengalami pola asuh orang tua yang buruk atau hukuman disiplin secara fisik dari orang tua semasa kecil.

Terakhir, untuk faktor lingkungan, mungkin saja di komunitas tersebut tingkat kemiskinannya tinggi, tingkat penganggurannya juga tinggi, banyak kejahatan serta kekerasan di wilayah komunitasnya, para tetangga atau orang di komunitas tidak tertarik menengahi situasi di mana mereka melihat adanya kekerasan. Lalu, mendapat akses mudah terhadap obat terlarang dan alkohol di komunitasnya. 

Lalu, apa dampak yang dapat diterima dari KDRT? Korban KDRT dapat mengalami depresi, PTSD, gangguan kecemasan, pemakaian zat terlarang dan alkohol, serta perilaku seksual yang berisiko. Bila sangat berat, mereka juga bisa mengalami kecenderungan bunuh diri. KDRT juga dikaitkan dengan masalah-masalah kesehatan seperti sakit kepala, nyeri tubuh, gangguan pencernaan, serta kesehatan yang buruk atau mudah sakit. Anak-anak juga bisa mengalami berbagai gangguan emosional perilaku. 

Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebenarnya merupakan isu yang sulit untuk diidentifikasi. Banyak juga kasus yang tidak dilaporkan pada tenaga kesehatan dan pihak berwajib. Tentunya masalah ini jadi masalah kita bersama. Ingatlah, tidak ada orang yang berhak dilukai dan mendapat perlakuan seperti ini. Ketahuilah bahwa ini bukan kesalahan Anda. Jika Anda mengalami KDRT jangan lupa lapor pada pihak berwajib dan instansi terkait seperti Kementrian Sosial.