Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat Dijebloskan ke Penjara oleh Belanda dalam Sejarah Hari Ini, 30 Juli 1913

JAKARTA – Sejarah hari ini, 109 tahun yang lalu, 30 Juli 1913, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat (kemudian dikenal: Ki Hajar Dewantara) dijebloskan penjara oleh Belanda. Tindakan pemerintah kolonial Belanda itu menimbulkan kehebohan. Apalagi empunya kuasa menangkap keduanya karena acap kali berisik. Dalam artian, tindak-tanduk keduanya lewat lisan maupun tulisan kerap melawan Belanda. Satu untuk semua, semua untuk satu. Begitu yang diinginkan keduanya. Penjajahan harus dihapuskan.

Kelahiran partai nasionalis pertama di Hindia-Belanda, Indische Partij (IP) membawa kehebohan. Pengagasnya bukan orang sembarangan. Ernest Douwes Dekker, Soewardi Soerjaningrat, dan Tjipto Mangoenkoesoemo ada di baliknya. Kehadiran IP langsung menggelegar. Ketiganya mematri jelas arah yang dibela IP: perlawanan terhadap Belanda.

Sebuah perlawan melawan tirani. Dan tentu saja pernyataan ‘perang’ terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda yang dianggapnya pemeras nan rasis. Lisan dan tulisan jadi corong perlawanan IP.

Propaganda-propaganda IP dilanggengkan pula lewat sebuah surat kabar bernama De Expres. Siasat itu mujarab. Gaung kebesaran IP kerap memancing perhatian Belanda. Utamanya kepada Tjipto dan Soewardi.

Keduanya memiliki karakter yang berbeda-beda yang berjuang. Satu-satunya hal yang membuat mereka sama adalah kebencian yang amat dalam terhadap Belanda. Laku hidup penjajah dianggap keduanya penuh kesesatan. Mereka hanya menjadikan kaum bumiputra bak sapi perah.

Tiga serangkai pendiri Indische Partij, dari kiri: Soewardi Soerjaningrat, Ernest Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo. (Harry A Poeze, et al., In Heat Land van de Overheeser: Indonesiers in Nederland 1600-1950, Dordrecht Foris Publications 1986) 

“Ia sama kompleksnya dengan Soewardi, tetapi dari sisi yang berbeda. Kalau dalam kehidupannya Soewardi beralih dari satria ke pandita, Tjipto benar-benar seorang satria dalam seluruh hidupnya.”

“Bila Soewardi jebolah sekolah dokter kemudian menjadi pemuda radikal dengan sebuah artikel, Tjipto berpraktek sebagai dokter dan pemberontak tak sabar yang tak dapat menahan diri memperlihakan kejijikannya pada kekuasaan dan kemegahan, bahkan sebelum ia memuali karier politiknya,” ungkap Takashi Shiraishi dalam buku 1000 tahun Nusantara (2000).

Tiap tulisan dalam De Expres terus dicurigai sebagai perilaku pembrontakan. Apalagi kala kemunculan tulisan dari Soewardi yang berjudul Als ik eens Nederlander was (Andai Aku Seorang Belanda) pada tahun 1913.

Tulisan itu bernada kritik karena Belanda mencoba meminta kaum bumiputra untuk patungan untuk merayakan kemerdekaan Belanda dari Prancis. Soewardi menganggap hal itu tidak elok. Apalagi Belanda menyelenggarakan euforia kemerdekaan di negeri yang dirampas kemerdekaan. Sebagai ganjaran, Tjipto dan Soewardi dibui oleh Belanda pada 30 Juli 1913.

“Untuk keperluan penangkapan Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi, pihak yang berwajib mengerahkan sejumlah polisi Bandung, dibantu satu setengah batalyon serdadu Belanda dan Ambon. Mereka bersenjata lengkap dengan sangkur terhunus, seakan-akan kedua tahanan itu merupakan orang yang paling berbahaya di wilayah Hindia-Belanda ini.”

“Pada 30 Juli 1913, secara tiba-tiba Soewardi ditangkap di rumahnya. Dengan kawalan militer yang ketat, dia langsung dibawa ke penjara. dia sama sekali tidak menyangka bahwa hal itu akan terjadi. sepanjang jalan yang dilalui, semua mata bagai memandang terarah kepadanya. Soewardi dikenal banyak orang. Dia adalah bekas Ketua Sarekat Islam di Bandung yang pada waktu itu telah mengundurkan diri karena kesibukannya dalam Comite Boemipoetra,” ungkap Irna H.N. Hadi Soewito dalam buku Soewardi Soerjaningrat dalam Pengasingan (2019).

Pemenjaraan dua tokoh nasional pendiri Indische Partij, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat menjadi catatan sejarah hari ini, 30 Juli 1913.