Harga BBM Pertamax Naik, Waspadai Migrasi Massal ke Pertalite
JAKARTA - Akhirnya secara resmi PT. Pertamina (Persero) pada 1 April melakukan penyesuaian harga BBM jenis Pertamax. Dalam keterangan di laman Pertamina disebutkan BBM Non Subsidi Gasoline RON 92 (Pertamax) disesuaikan harganya menjadi Rp12.500 per liter (untuk daerah dengan besaran bahan bakar kendaraan bermotor/PBBKB 5 persen), dari harga sebelumnya Rp9.000 per liter.
Sementara untuk BBM jenis Pertalite tidak mengalami kenaikan dan tetap di angka Rp7.650. Sebelumnya, Pertamina mengumumkan kenaikan harga Pertamax di 16 provinsi. Namun, tidak lama kemudian Pertamina merilis kenaikan harga Pertamax di 34 provinsi. Adapun porsi konsumsi BBM subsidi mencapai 83 persen, sedangkan porsi konsumsi Pertamax sebesar 14 persen.
Sebelumnya dalam kuliah umum di Universitas Hasanuddin Makassar yang ditayangkan melalui Youtube, Rabu 30 Maret, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir berbicara mengenai kebijakan terkait BBM. Menurutnya BBM jenis Pertalite telah diputuskan pemerintah untuk menjadi Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP). Artinya, Pertalite menjadi BBM yang distribusinya diatur pemerintah ke wilayah penugasan, dan dapat disubsidi melalui skema pemberian kompensasi kepada PT Pertamina (Persero).
“Pemerintah sudah memutuskan Pertalite dijadikan subsidi, tapi Pertamax tidak. Jadi kalau Pertamax naik, ya mohon maaf, tapi kalau Pertalite disubsidi," ungkap Erick.
Anggaran Subsidi Naik dan Tunggakan ke Pertamina
Di lain kesempatan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dalam siaran persnya menjelaskan, bahwa nilai jual berbagai jenis BBM di Indonesia belum disesuaikan dengan fluktuasi harga yang terjadi secara global.
Akibatnya anggaran subsidi membengkak sehingga menimbulkan tekanan pada APBN. Dalam pemaparan itu Menkeu juga menyebut jika angka subsidi telah menembus Rp21,7 triliun pada Februari 2021. Padahal pada sepanjang 2021 nilai pembayaran subsidi hanya sebesar Rp12 triliun.
Secara terperinci Menkeu mengatakan realisasi penggunaan BBM bersubsidi hingga Januari 2022 adalah sebanyak 1,39 juta kilo liter, atau tumbuh dari Januari 2021 yang tercatat 1,18 juta kilo liter. Pada 2020 kewajiban subsidi pemerintah ke Pertamina adalah sebesar Rp45,9 triliun. Dari angka itu baru dibayar Rp30 triliun pada 2021 sehingga pemerintah masih punya tunggakan Rp15,9 triliun.
Isu Sensitif
Kenaikan harga bahan bakar minyak atau BBM di Indonesia tidak terelakkan menyusul terus melonjaknya harga minyak mentah dunia. Menaikkan harga bahan bakar minyak di Indonesia merupakan hal yang sensitif. Sebagai negara pengimpor bersih atau net importer minyak sejak 2004, harga jual BBM di tingkat ritel sangat bergantung pada pergerakan harga minyak mentah . Publik Indonesia belum terbiasa dengan pergerakan harga jual BBM yang dinamis.
Pada awal pandemi COVID-19 periode Maret 2020, harga minyak terus merosot akibat permintaan yang turun drastis. Tak ada pesawat yang terbang, tak ada mobil yang berkeliaran, dan kegiatan pabrik yang terhenti. Pada bulan Januari 2020 harga minyak mentah berada di level 60-an dolar AS per barel.
Pemerintah terdata menurunkan dua kali harga Pertamax. Per 5 Januari 2022, harga pertamax turun dari Rp 9.850 per liter menjadi Rp 9.200 per liter. Kemudian menjadi Rp 9.000 per liter sejak 1 Februari 2022.
Tapi saat ini, situasi di atas terbalik. Kini, harga minyak minyak mentah melewati 100 dolar AS dan sempat menyentuh 139 dolar AS per barel pada awal Maret lalu.
Selain-tingginya permintaan energi dari sejumlah negara yang ekonominya pulih dari pandemi, konflik bersenjata Rusia-Ukraina turut memicu kenaikan harga tersebut. Rusia adalah pemasok 10 persen minyak mentah global.
Dengan harga jual yang berubah seperti saat harga minyak mentah melambung tinggi, badan usaha sudah pasti menanggung rugi. Pemerintah pun harus menanggung tambahan subsidi BBM. Untuk diketahui biosolar adalah BBM yang disubsidi negara lewat APBN dengan skema subsidi tetap Rp 500 per liter. Sementara premium, selisih harga jualnya yang Rp 6.450 per liter dengan harga keekonomian ditutup oleh pemerintah dengan skema kompensasi.
Dari SBY Hingga Jokowi
Kenaikan harga BBM pernah terjadi di awal Pemerintahan SBY dengan harga Rp1820 per liter, lalu pada 1 Maret 2005 mengalami kenaikan lagi sebesar Rp2400 perliter.
Memasuki tahun terakhir periode 1 Pemerintahan SBY, kenaikan harga BBM terjadi kembali, sebesar Rp1500 per liter yang menyebabkan harga BBM menjadi Rp6000 per liter. Namun karena mengikuti harga minyak dunia pada tahun 2013 terjadi penurunan harga BBM sebanyak dua kali yaitu menjadi Rp5.000 dan Rp4.500 per liter.
Perubahan Pemerintahan dari SBY ke Jokowi telah membuat harga beberapa bahan baku dan kebutuhan masyarakat meningkat, diantaranya BBM. Di awal pemerintahannya Jokowi menghapuskan subsidi BBM premium yang membuat premium menjadi Rp8.500 per liter.
Baca juga:
- Hari ke 36 Perang Rusia-Ukraina dalam Pantauan Media Sosial Indonesia: Keselamatan WNI Jadi Perhatian Utama
- Kasus Terawan Agus Putranto dan Ikatan Dokter Indonesia: Ketika Perikemanusiaan Berbenturan dengan Aturan
- Bakteri Pemakan Plastik Ditemukan: Bisa Jadi Solusi Masalah Sampah, tapi Bukan Tanpa Risiko Jika Diterapkan Sembarangan
- COVID-19 Mereda, Jangan Lupakan TBC: Indonesia Penyumbang Kasus Terbesar Ketiga di Dunia, Setiap Hari Renggut 200 Nyawa
Harga BBM yang tidak turun saat pandemi melanda membuat masyarakat protes. Volume penjualan BBM yang menurun akibat pemberlakuan di rumah saja dan membuat kegiatan masyarakat dibatasi menjadi alasan Pertamina untuk tidak menurunkan harga BBM.
Beban APBN yang besar, membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani harus berpikir bagaimana menyeimbangkan instrumen fiskal. Siasat yang diambil adalah anggaran bantuan sosial (bansos). Bansos yang awalnya akan disebarkan sepanjang tahun ini, diambil untuk menambal pos subsidi energi termasuk BBM agar pemerintah tidak bertambah tekor.
Efek Domino Kenaikan Pertamax
Buntut dari keputusan pemerintah yang menaikkan harga harga BBM RON 92 Pertamax pada April ini hingga Rp16.000 per liter mendapat tanggapan dari mantan Menteri Keuangan M.Chatib Basri, yang mengingatkan kemungkinan migrasi konsumsi masyarakat dari Bahan Bakar Minyak (BBM) Pertamax ke Pertalite.
"Ada yang perlu diantisipasi terkait kenaikan Pertamax: soal price gap," tulis Chatib Basri dalam akun Twitternya @ChatibBasri, Kamis, 31 Maret.
Menurut Chatib, peralihan pengguna Pertamax ke Pertalite ini dipicu adanya selisih harga yang cukup jauh antara dua jenis BBM yang dijual PT Pertamina (Persero) tersebut.
"Pertamax naik ke Rp16.000, Pertalite tetap di Rp7.650, maka bisa terjadi migrasi dari Pertamax ke Pertalite," jelasnya.
Jika terjadi migrasi konsumsi dari Pertamax ke Pertalite, hal ini akan menyebabkan over kuota dan beban terhadap APBN akan melonjak. Chatib menyarankan pemerintah memberikan subsidi lebih tepat sasaran yaitu masyarakat tidak mampu.
"Lebih baik targeted subsidy orang daripada barang," cuit Chatib.
Hal penting dari pergerakan harga minyak mentah yang dinamis saat ini, sebaiknya pemerintah mengedukasi masyarakat bahwa harga eceran BBM bisa naik dan bisa turun, tergantung pada pergerakan minyak mentah. Bahwa hal itu lumrah terjadi untuk BBM non subsidi.
Dan untuk BBM yang disubsidi, sebaiknya diterapkan skema yang sama dengan syarat tetap ada intervensi berupa subsidi. Pemerintah mempunyai landasan hukum untuk mengevaluasi harga BBM secara berkala sesuai pergerakan harga minyak dunia. Ruang ini harus dimanfaatkan secara maksimal.