JAKARTA – Wacana penggunaan Hak Angket untuk menyelidiki dugaan sengkarut di Pemilu 2024 mulai menyeruak saat Rapat Paripurna DPR RI, Selasa 5 Maret yang lalu. Setidaknya, sudah ada tiga orang anggota DPR yang bersuara lantang terkait penggunaan Hak Angket.
Ketiga anggota DPR tersebut adalah Aus Hidayat Nur (Fraksi PKS), Luluk Nur Hamidah (Fraksi PKB) dan Aria Bima (Fraksi PDIP). Sayangnya, suara lantang ketiga politisi itu di Rapat Paripurna DPR tidak diimbangi oleh sikap resmi fraksi masing-masing, dan fraksi-fraksi lain.
Hal inilah yang menimbulkan pertanyaan di ruang publik, apakah wacana Hak Angket Pemilu 2024 tersebut memang sebagai bentuk pengawasan dari DPR atau hanya menjadi alat negosiasi alias bargaining politik.
Pakar komunikasi politik Universitas Brawijaya, Verdy Firmantoro menilai bahwwa wacana Hak Angket Pemilu 2024 belum bergulir kencang karena motif di baliknya yang masih belum tuntas. Dia menduga, masih ada benturan motif antara murni pengawasan atau bertendensi politik.
“Itu sebabnya, potensi Hak Angket ini masih setengah-setengah karena memang komitmen masing-masing partai politik belum penuh. Hak Angket ini mau digunakan sebagai upaya pengawasan atau justru bertendensi politik,” ungkapnya, Senin 11 Maret.
Menurut dia, hal ini justru merupakan ujian komitmen parpol kepada rakyat Indonesia, apakah mereka memperjuangkan nilai atau justru lebih bermotif politis dalam menggulirkan Hak Angket. Sebab, jika motif bergulirnya adalah politik, maka Hak Angket bisa dipastikan akan layu di tengah jalan.
“Apalagi ditambah dengan menguatnya dominasi koalisi pemerintah dan koalisi menuju pemerintahan yang baru semakin besar, itu mereduksi kepercayaan diri partai-partai yang ingin punya suara vokal sebagai oposisi,” tambah Verdy.
BACA JUGA:
Selain itu, bila motif politik yang menjadi dasar dari Hak Angket, maka hal itu juga berpotensi merugikan para caleg yang berpeluang kembali lolos ke parlemen pada 2024-2029. Pasalnya, jika Hak Angket bertujuan menolak hasil pemilu, maka yang dipersoalkan bukan hanya pilpres, tapi juga pileg.
4 Parpol Masih Berpikir untuk Menjadi Oposisi?
Soal Fraksi PDIP yang masih belum mengeluarkan sikap resmi atas wacana Hak Angket, Verdy berpendapat bahwa partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu masih dalam posisi mencari aman, wait and see. “Mungkin masih berupaya penguatan baik secara politik maupun hukum sambil melakukan cek ombak partai-partai mana yang kemudian punya potensi mendukung penuh,” imbuhnya.
Demikian halnya dengan NasDem, PKS, PKB dan PPP. Verdy menilai, dari keempat parpol itu, hanya PKS yang memiliki DNA sebagai opisisi yang dibuktikan dalam sepuluh tahun pemerintahan Joko Widodo. Sementara NasDem dan PKB justru berpotensi bergabung ke koalisi pemerintahan berikutnya dengan modal raihan suara maupun kursi yang cukup signifikan.
Sementara untuk PPP, kedekatan Plt Ketua Umum Mardiono dan Sandiaga Uno dengan lingkar kekuasaan tidak bisa diabaikan begitu saja. Hal inilah yang menimbulkan pertanyaan apakah PPP siap berada di luar kekuasaan sebagai oposisi pemerintahan berikutnya.
Pendapat berbeda dikemukakan Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah. Dia melihat, sasaran Hak Angket yang diwacanakan belakangan adalah Presiden Joko Widodo, bukan hasil Pemilu 2024.
Karena itu, dia menilai wacana pengguliran Hak Angket akan mendapatkan perlawanan yang kuat secara politik. “Itu sebabnya lobi-lobi untuk menghalangi sangat kuat dan bukan tidak mungkin PDIP bisa kalah bersaing pengaruh dan kekuasaan,” tuturnya.
Dedi mencontohkan, PDIP bisa saja dihadapkan dengan ancaman kasus Harun Masiku yang hingga kini belum tertangkap. Selain itu, absennya Puan Maharani dalam Rapat Paripurna, meski beralasan menghadiri sidang di Paris, bisa menimbulkan persepsi bahwa putri Megawati itu dengan sengaja menolak hak angket secara diam-diam.
Apalagi, sebelum pemilu Puan sudah sering melakukan pembelaan pada Jokowi, bahkan menegur keras kader PDIP yang mengkritisi kebijakan pemerintah. Dalam posisi ini, Puan sangat mungkin menjadi pintu diplomasi antara kepentingan pemerintah dengan PDIP.
“Itulah sebab Puan tidak begitu memprioritaskan Rapat Paripurna. Bisa saja dia sengaja demi menolak Hak Angket secara sembunyi-sembunyi. Langkah Puan jelas anomali, kunjungan luar negeri tentu bukan agenda prioritas, mengingat situasi politik dalam negeri sedang menghangat,” terang Dedi.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus menyebut PDIP sebagai kunci dalam menggulirkan Hak Angket Pemilu 2024. Pasalnya, selama ini parpol pendukung Anies-Muhaimin menegaskan jika kelangsungan Hak Angket akan sangat bergantung pada keseriusan PDIP sebagai pihak pertama yang menggagasnya.
“Kalau pernyataan Arya Bima (di Rapat Paripurna) kita anggap sebagai sikap PDIP, maka nampaknya PDIP sendiri sudah tak memilih Hak Angket lagi sebagai langkah politik yang dimaksudkan untuk membongkar kecurangan pemilu. Dia tidak spesifik mendorong penggunaan Hak Angket walau tetap mengingatkan perlunya DPR melakukan sesuatu demi memastikan perbaikan pelaksanaan pemilu di masa mendatang,” bebernya.
“Sebagai partai Utama pengusung Ganjar, ditambah semangat berapi-api yang ditunjukkan sejumlah politisi PDIP di media dalam mendorong Hak Angket ini, rasa-rasanya saat di Rapat Paripurna menjadi antiklimaks. Jika PDIP-nya sudah tak segalak itu, artinya kita harus menguburkan mimpi membongkar kecurangan pemilu menggunakan hak eksklusif DPR yaitu Hak Angket,” tambah Lucius.
Cara Halus PDIP
Pengamat politik dari BRIN, Aisah Putri Budiatri juga menyatakan bahwa bila PDIP dan partai lain serius ingin mengajukan Hak Angket, maka seharusnya diajukan secepatnya ketika peluang untuk disidangkan ada.
Selain itu, dalam waktu singkat, para penggagas Hak Angket perlu menyiapkan diri untuk memenuhi berbagai syarat pengajuan termasuk menyiapkan materi-materi yang akan diselidiki, serta membangun dukungan di internal parlemen agar mendapatkan persetujuan dalam Rapat Paripurna.
“Proses itu tentu tidak mudah di tengah masa kerja DPR yang kurang dari satu tahun. Anggota dewan sibuk mengawal suara hasil pileg masing-masing, dan dengan catatan bahwa partai yang juga menjadi koalisi pemerintah, yang saat berkemungkinan besar menolak ide angket, punya proporsi besar di DPR,” kata Putri.
Dia menilai, jika Hak Angket benar-benar terlaksana dan ada penyelidikan yang serius dengan dasar-dasar materi untuk penyelidikan yang kuat, maka ini bisa menjadi tempat yang efektif menguji dugaan kecurangan pemilu yang dilontarkan berbagai pihak.
“Namun demikian, Hak angket hanya bisa efektif kalau ada keseriusan dari semua pihak, terutama di internal parlemen dan kemudian di pemerintah. Keseriusan ini menjadi kunci karena sisa waktu kerja yang singkat. Misalnya, jika ternyata penggagas tidak solid menggagas dukungan di internal parlemen, bisa jadi sidang akan tertunda-tunda atau bahkan tidak memenuhi syarat kuorum sidang paripurna, maka Hak Angket gagal sebelum dimulai,” terangnya.
Dia menegaskan, Hak Angket bisa menjadi salah satu alternatif langkah untuk mengungkap dugaan kecurangan pemilu. Terutama, karena kegusaran publik pada dugaan adanya kecurangan pemilu yang masif, dan di sisi lain ada keraguan publik terhadap efektivitas pengawasan oleh Bawaslu.
“Sementara MK pernah menyatakan bahwa persoalan kecurangan TSM pemilu bukan kewenangannya. Oleh karena itu, Hak Angket dinilai sebagai langkah penting yang strategis untuk mengungkap dugaan kecurangan pemilu,” tukas Putri.
Di sisi lain, Sekjen DPP PDIP, Hasto Kristiyanto menepis anggapan pihaknya tidak serius dalam mewacanakan Hak Angket Pemilu 2024. Dia mengungkapkan, pengguliran Hak Angket membutuhkan tahapan-tahapan yang harus dipikirkan dan dirancang dengan matang.
Karena itu, PDIP terus melakukan diskusi-diskusi civil society dan para guru besar seiring dengan upaya membangun kesadaran rakyat. “Jadi ini segala sesuatunya dipersiapkan. Prof Mahfud sudah mengatakan naskah akademiknya sedang disempurnakan,” katanya.
Pernyataan senada juga dilontarkan Ketua Majelis Pertimbangan Partai DPP PPP, Muhammad Romahurmuziy, yang mengatakan bahwa pihaknya masih memprioritaskan mengawal hasil suara di Pileg 2024. Sebab, dengan raihan suara yang belum berjarak lebar dengan ketentuan parliamentary threshold, suara PPP masih berisiko mengalami perubahan.
“Sikap resmi PPP saat ini cukup jelas, kami masih memprioritaskan mengawal hasil pileg. Untuk wacana pengguliran Hak Angket, nanti kita putuskan usai KPU menetapkan hasil Pilpres dan Pileg 2024 tanggal 20 Maret nanti,” ujar Romy.