Bagikan:

JAKARTA – Iming-iming kemudahan yang ditawarkan pinjaman online (pinjol) memang menggiurkan karena tidak semua produk dan layanan jasa keuangan mampu memenuhi semua kebutuhan seluruh lapisan masyarakat.

Mayoritas nasabah adalah kalangan lapisan bawah mengingat nilai pinjaman relatif kecil dengan persyaratan yang begitu mudah. Sayangnya, banyak pinjol yang beroperasi secara ilegal. Ceruk pasar yang besar, menjadi alasan perusahaan financial tecnofogy (Fintech) dari luar masuk ke Indonesia.

Berdasarkan laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pinjol ilegal di dominasi perusahaan dari China. Ketua Satuan Tugas Waspada Investasi OJK, Tongam L Tobing mengungkapkan, pada awal mula menjamurnya pinjol medio 2018, pihaknya sempat menemukan 227 perusahaan pinjol ilegal di Indonesia, dimana lebih dari separuhnya berasal dari developer China.

Dia menjelaskan perusahaan pinjol asal China mengalihkan bidikan ke Indonesia setelah banyak yang rontok akibat adanya pengetatan regulasi di China terkait pinjam meminjam uang. “Di China ada pengetatan peer-to-peer lending. Sebelumnya sangat bebas. Bisa jadi berdampak ke kita. Perusahan China yang tidak bisa di sana, lari ke sini,” ujar Tongam.

Dia menyatakan, developer China itu menamakan perusahaannya dalam bahasa Indonesia. Satu developer bisa mengoperasikan dua hingga tiga platform. Misalnya, developer Li Chen menggerakkan platform Cinta Rupiah dan Duit Pinjaman, developer Xinhe dengan platform Dana Saku dan Dunia Pinjaman, serta Dana Uang dari developer Zhu Xia. Para investor diduga berasal dari China juga. Mereka memutar uang mereka di platform tersebut untuk berinvestasi.

“Kami menduga karena di sana dikejar-kejar, sementara uang mereka sangat banyak. Maka mereka masuk ke sini. Namun, belum bisa dipastikan perusahaan itu bergerak di bidang apa karena OJK tidak bisa mendeteksi perusahaan-perusahaan yang namanya tidak terdaftar,” terangnya.

Dikutip dari catatan ADB Institute, pinjol menjadi populer di China setelah pengetatan kredit bank pada 2010, mengikuti dua tahun pengetatan stimulus untuk melawan krisis keuangan global yang terjadi sejak 2008. Pada 2012, akumulasi volume pinjaman fintech P2P lending di China kurang dari 1 miliar dolar AS. Namun, semua berubah 180 derajat pada 2015 dimana dana pinjaman mencapai 100 miliar dolar AS.

Industri fintech P2P Lending di China memang tumbuh lebih cepat dibanding di negara-negara lain karena tidak adanya campur tangan pemerintah. Lantaran tidak diatur dengan jelas inilah praktik bisnis fintech P2P lending di China lebih menyerupai perbankan bayangan alias shadow banking, yang merupakan salah satu celah irisan dari sistem perbankan yang ditetapkan oleh pemerintah Beijing.

Pemerintah China saat itu memang sedang giat-giatnya memberantas praktik shadow banking, skema ponzi dan sebagainya, yang rentan fraud atau penipuan. Oleh karena itu, pemerintah China berupaya mengendalikan utang berlebih dan mengetatkan tingkat kehati-hatian serta kepatuhan di industri fintech P2P lending. Pemerintah juga menargetkan menutup bisnis perusahaan penyelenggara fintech P2P lending yang menyalurkan pinjaman berisiko tinggi.

Ilustrasi Perampok Uang Lewat Pinjol
Ilustrasi Perampok Uang lewat Pinjol

Laporan Caixing Global menyebut, lebih dari 80 persen dari 6.200 platform fintech P2P lending China telah ditutup atau mengalami kesulitan pengelolaan yang serius, mulai dari masalah pelarian dana hingga persoalan investasi yang buruk, dan kredit macet. Aturan ketat yang dikeluarkan pemerintah diperkirakan membuat jumlah perusahaan penyelenggara fintech P2P lending dapat terpangkas hingga 70 persen sepanjang 2019.

Pada awal tahun 2022, Polisi menetapkan pria WN China, YXC (38), sebagai tersangka perusahaan pinjol PT Jie Chu Technology yang beroperasi dari Jakarta. Perusahaan tersebut diketahui mengelola 11 aplikasi pinjol ilegal, seperti Cash Go, Kredito, Kotak Online, Kredit Cair, Cash 365, Cash Plus, Doku, Dana Kilat, Pinjam Uang, Tas Rupiah dan Uang Peti.

Cuan yang diraup pinjol ilegal asal Negeri Tirai Bambu tergolong besar. Dalam Youtube Mata Najwa, salah seorang mantan pegawai perusahaan pinjol ilegal berinisial R membeberkan cara perusahaan tempatnya bekerja dahulu dalam mencari 'mangsa'.

R mengaku bekerja di perusahaan pinjol ilegal selama 3 bulan dan berposisi sebagai debt collection atau tukang tagih. R mengatakan, perusahaannya mengakses informasi dan data pribadi pengguna mengakses aplikasi. Nantinya, data-data dan informasi pribadi itu akan digunakan untuk meneror pengguna jika tidak membayar tagihan sesuai jadwal.

“Kalau pemilik saya gak tahu tapi saya tahu asal negaranya. Asalnya dari China,” tutur R saat ditanya siapa pemilik perusahaan pinjol ilegal tersebut.

R kemudian mengatakan bahwa perusahaan itu bisa meraup keuntungan sekira Rp200 juta per bulan. “Kalau setahun bisa Rp1, 2, atau 3 miliar,” sambungnya.

Tak hanya pinjol ilegal, raksasa keuangan China ternyata juga berinvestasi di pinjol legal, salah satunya adalah AdaKami. Mengutip laporan tahunan Finvolution, AdaKami dikuasai oleh salah satu perusahaan keuangan asal Tiongkok FinVolution Group dengan persentase kepemilikan 80 persen.

Finvolution sendiri merupakan raksasa pembiayaan terbesar asal China yang melantai di bursa AS, yakni NSDQ, dengan kode saham FINV. Perusahaan lending terbesar di China itu telah berdiri sejak tahun 2007. Perusahaan ini merupakan pionir dalam industri pembiayaan konsumen online China.

Dulunya, perusahaan ini berdiri dengan nama PPDAI. Pada tahun 2018, PPDAI menjadi salah satu dari 15 perusahaan pemberi pinjaman online dan pembiayaan konsumen pertama yang terhubung dengan Baihang Zhengxin (Baihang Kredit), platform pelaporan kredit terpadu pertama di China.

Baru pada 2019 PPDAI berinvestasi di Fujian Haixia Bank dan memperluas operasi internasionalnya di Indonesia dengan izin Lembaga Peminjaman Keuangan Berbasis Teknologi dan Informasi dari Otoritas Jasa Keuangan Indonesia pada Desember.

Tongam L Tobing berharap, masyarakat harus bisa membedakan pinjol legal dan ilegal. Dia menyatakan, ciri-ciri pinjol ilegal adalah tidak terdaftar atau tidak termasuk dalam daftar yang ada di laman OJK. Kedua, tidak diketahui di mana alamatnya, termasuk struktur kepengurusan. Ketiga, syaratnya mudah sekali, cukup dengan foto diri dan fotocopy KTP sudah bisa, tapi bunga dan dendanya tinggi.

“Potongannya langsung 40 persen. Orang yang pinjam 1 juta yang ditransfer hanya Rp600.000. Contoh lain saat perjanjian awal bunganya setengah persen per hari, setelah jadi itu bisa sampai 2 sampai 3 persen perhari. Mereka melakukan penipuan di situ,” bebernya.

Ciri yang keempat, mereka meminta semua data nomor kontak yang ada di HP harus bisa diakses. “Kalau ini terjadi, malapetaka sudah di depan mata. Saat tak bayar pada waktu yang diperjanjikan mereka akan melakukan teror dan intimidasi kepada peminjam dan semua nama di nomor kontak. Karena itu perlu kewaspadaan pada pinjol ilegal ini,” imbuhnya.

Lebih lanjut Tongam menjelaskan, saat ini ada moratorium pendaftaran pinjol, karena jumlahnya sudah sangat banyak. Oleh karena itu, masyarakat yang ingin melakukan pinjaman online tinggal memilih salah satu dari 104 yang saat ini terdaftar di OJK.

“Pinjol yang legal hanya meminta akses pada kamera HP, lokasi dan suara. Sedangkan Pinjol ilegal meminta akses ke nomor kontak HP dan storage HP. Yang perlu diingat setiap penawaran pinjaman melalui SMS atau WA dan sejenisnya itu pasti ilegal, jadi jangan diakses. Pinjol yang legal tidak dibenarkan menawarkan pinjaman melalui SMS dan WA,” tukasnya.

Selain itu, OJK juga melakukan pengawasan dan pembinaan, dimana bila ada yang melanggar maka sanksi-sanksi mulai administratif sampai pencabutan izin usaha sudah disiapkan. Di samping itu juga ada penegakan kode etik yang dilakukan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia.

Tongam juga meminta masyarakat tidak segan melapor ke OJK dan Dewan Pengawas Investasi melalui email; [email protected], menghubungi nomor kontak 157 atau WA 081 157 157 157 atau juga lapor ke Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia. “Tapi kalau sudah mengalami teror atau intmidasi, harus melaporkan ke polisi supaya dilakukan proses hukum,” imbuhnya.

Dia mengungkapkan, pinjol sebenarnya bertujuan baik untuk menjembatani kebutuhan dana masyarakat yang tidak bisa dilayani oleh sektor formal. Tapi, hal ini yang terkadang disalahgunakan pelaku pinjol ilegal untuk menjerat korban.

Sebab, pertama mudah sekali untuk membuat web pinjaman online ini meski izinnya tak didapat. Lalu mengirim SMS kepada masyarakat. Kedua servernya ada di luar negeri yang menjadi kesulitan tersendiri bagi OJK.

“Lalu dari sisi masyarakat, pertama tingkat literasi yang rendah. Begitu mereka butuh uang kemudian ada link yang menawarkan pinjaman online, mereka mengisi, melakukan pinjaman di sana ternyata pinjaman online yang ilegal, mereka terjebak di sana. Kedua kelompok masyarakat yang memang sudah tahu itu ilegal tetapi karena kebutuhan mendasar yang harus ke pinjol meski yang ilegal. Ada juga masyarakat yang melakukan pinjaman di luar kemampuan bayarnya. Lalu gali lobang tutup lobang,” tutup Tongam.